Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) resmi menaikkan suku bunga acuan menjadi 6% dalam Rapat Dewan Gubernur BI pekan ini. Analis melihat peningkatan suku bunga ini berdampak negatif terhadap harga saham emiten-emiten rate sensitive.
Head of Investment Information Mirae Asset Sekuritas Martha Christina mengatakan peningkatan suku bunga berimbas negatif terhadap beberapa sektor saham seperti teknologi, perbankan, properti, hingga otomotif.
"Dari sisi harga saham, kenaikannya jadi terbatas. Kecuali perusahaan membukukan kinerja yang outstanding di kuartal III/2023 mendatang," kata Martha, dikutip Minggu (22/10/2023).
Menurut Martha, meskipun terjadi window dressing di akhir tahun, tetapi investor perlu mencermati arah kebijakan The Fed untuk tahun depan akan seperti apa. Apabila nada dari kebijakan The Fed masih Hawkish, maka investor bisa jadi lebih pesimis dengan adanya window dressing.
Sebagai informasi, beberapa indeks sektor rate sensitive mencatatkan pelemahan secara year to date. Pelemahan terdalam dialaimi oleh indeks sektoral teknologi yang telah melemah 23,49% sejak awal tahun. Begitupula dengan sektor properti yang melemah 2,47%, dan finansial yang turun 4,13% ytd.
Martha melihat pelemahan indeks sektoral teknologi salah satunya disebabkan oleh penurunan saham GOTO dan EMTK, selain dari peningkatan suku bunga. Untuk penurunan saham EMTK, hal tersebut terjadi akibat kinerja yang menurun.
Baca Juga
"GOTO karena sentimen pelepasan saham oleh investor pra IPO. Jadi lebih ke sentimen internal," tuturnya.
Sementara itu, Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan mengatakan kenaikan 25 bps pada suku bunga acuan tidak akan berpengaruh terhadap permintaan pada sektor-sektor rate sensitive. Jadi, menurut Alfred hal tersebut tidak akan mengubah atau mempengaruhi performa emiten-emiten di sektor-setor tersebut pada tahun penuh 2023.
"Perkiraan kami kenaikan suku bunga tidak akan berlangsung lama, di mana kami masih optimis tahun depan sudah mulai diturunkan," kata Alfred.
Dia melanjutkan, kenaikan suku bunga tersebut lebih berfokus pada penstabilan nilai tukar rupiah. Pasalnya, rupiah sudah terdepresiasi cukup dalam di dua bulan terakhir.
"Jadi menurut kami imbasnya bersifat umum atau pasar secara keseluruhan tidak kepada industri atau sektor tertentu," tutur Alfred.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.