Bisnis.com, JAKARTA - Sebagai bentuk komitmen kontributif terhadap permasalahan pendidihan global (global boiling), Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement melalui UU No. 16/2016.
Tujuan besar Paris Agreement untuk menurunkan suhu bumi sampai dengan 1,5°C pengurangan emisi karbon hingga mencapai Net Zero Emission (NZE). Dalam skema Paris Agreement, setiap negara diminta untuk menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca (Nationally Determined Contributions/NDC). Adapun target NDC Indonesia pada 2030 sebesar 31,89% dengan upaya sendiri dan 43,2% dengan dukungan internasional.
Namun, upaya pengurangan emisi berlebih bukan hal mudah, mengingat upaya ini memicu biaya yang tinggi. Dalam konteks ini, diperlukan intervensi pemerintah (Ratnawati, 2016). Sebagai salah satu bentuk intervensi, Pemerintah menerbitkan Perpres 98/2021.
Secara garis besar, pemerintah mengatur bahwa emisi karbon perlu dihitung sehingga memiliki harga agar dapat diperdagangkan baik secara langsung maupun melalui bursa karbon. Hal ini sekaligus sebagai bentuk apresiasi terhadap industri yang berperan dalam pengurangan emisi gas rumah kaca.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turut mendukung kebijakan Pemerintah dengan menyediakan alternatif pendanaan pembangunan proyek hijau melalui penerbitan surat utang dalam membangun proyek hijau (green bond) pada 2017. Dalam implementasinya, penerbitan green bond di Indonesia relatif fluktuatif.
Pada semester pertama 2023, penerbitan green bond di Indonesia sebesar US$1,15 miliar, menurun dari semester pertama 2022 yang mencapai US$1,83 miliar.
Baca Juga
Inisiatif OJK ini makin kuat setelah diterbitkannya UU No 4/2023 yang mengamanatkan OJK untuk pengembangan infrastruktur perdagangan karbon melalui bursa karbon.
Dalam rangka melaksanakan Perpres No. 98/2021 dan amanat UU No. 4/2023, Indonesia telah resmi merilis bursa karbon pada 26 September 2023, sebagai wadah perdagangan unit karbon di indonesia. Sebagai gambaran, perdagangan karbon melalui bursa karbon dilakukan dengan konsep jual beli atas unit karbon yang telah tersertifikasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Perusahaan yang berhasil memproduksi emisi karbon di bawah batas yang ditetapkan pemerintah (cap) dapat menjual unit karbonnya kepada perusahaan lain (trade) yang membutuhkan kompensasi karena memiliki produksi emisi karbon berlebih. Dalam studinya, McKinsey (2021) memprediksi permintaan unit karbon dapat mencapai 1,5—2,0 gigaton karbon dioksida (GtCO2) pada 2030 dan dapat menyentuh 7—13 GtCO2 pada 2050.
Dengan tingginya permintaan tersebut, bursa karbon dapat menjadi daya tarik perusahaan untuk menurunkan emisi karbon. Dalam jangka panjang bursa karbon juga diharapkan dapat berperan dalam pengembangan energi baru dan terbarukan, serta terbukanya peluang ekonomi baru.
Lebih lanjut, dalam studi Mckinsey (2021) menekankan bahwa salah satu tantangan bursa karbon yang menjadi kekhawatiran perusahaan adalah potensi biaya tinggi untuk pembangunan proyek hijau dalam rangka penerbitan sertifikat unit karbon untuk diperdagangkan di bursa karbon.
Terkait tingginya biaya pembangunan proyek hijau, penerbitan green bond dapat menjadi alternatif yang tepat. Secara bisnis, penerbitan green bond oleh perusahaan dapat menjadi instrumen penghimpunan dana yang dapat diandalkan.
Berdasarkan data, terdapat penerbitan beberapa green bond oleh Perusahaan yang oversubscribed. Di Bursa Singapura (SGX), PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. mencatatkan green bond dengan nilai US$350 juta. Surat utang ini oversubscribed sebanyak 3 (tiga) kali. Di Bursa Efek Indonesia, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. mengalami oversubscribed sebanyak 3,74 kali atas target penghimpunan dana sebesar Rp5 triliun. Oversubscribed suatu instrumen pendanaan menandakan besarnya minat investor terhadap green bond tersebut.
Dalam konteks yang lebih strategis, pendanaan proyek hijau melalui penerbitan green bond akan membantu perusahaan untuk menekan produksi emisi karbon hingga di bawah cap. Selain itu, sisa unit karbon yang dimiliki dapat dijual di bursa karbon setelah tersertifikasi.
Dengan demikian, penerbitan green bond akan meningkatkan supply unit karbon tersebut di bursa karbon. Secara alamiah, peningkatan supply akan mendorong terbentuknya harga unit karbon yang lebih adil. Di sisi lain, harga yang fair akan menarik minat Perusahaan untuk membeli unit karbon, sehingga demand side terhadap unit karbon juga akan meningkat.
Lebih jauh, kondisi ini akan mempermudah terbentuknya ekosistem hijau yang sehat. Dalam konteks itu, green bond dan bursa karbon merupakan dua kebijakan yang saling melengkapi dari sisi pendanaan dan penyediaan opsi infrastruktur perdagangan. Tentunya, untuk mewujudkan target NZE pada tahun 2050, diperlukan kolaborasi antarpemangku kepentingan di luar pasar modal dan lembaga jasa keuangan.