Bisnis.com, JAKARTA — Harga minyak dunia yang melonjak akibat meletusnya perang Palestina melawan Israel turut juga memanaskan saham-saham emiten minyak dan gas (migas) seperti PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS), PT Medco Energi Internasional Tbk. (MEDC), hingga PT AKR Corporindo Tbk. (AKRA).
Mengutip Bloomberg, Pada perdaganan Senin (9/10/2023) pukul 23.45 WIB, harga minyak WTI kontrak November 2023 naik 3,79 persen ke level US$85,93 per barel. Harga minyak Brent kontrak Desember 2023 meningkat 3,03 persen menjadi US$87,61 per barel.
Sementara itu, saham PT Medco Energi Internasional Tbk. (MEDC) ditutup naik 9,67 persen menjadi Rp1.475. Total transaksi saham MEDC mencapai Rp471,34 miliar. Sepanjang 2023, saham MEDC naik 45,32 persen.
Saham PT Elnusa Tbk. (ELSA) juga naik 4,10 persen menjadi Rp406. Sepanjang 2023, saham Grup Pertamina itu naik 30,13 persen. Tak ketinggalan, saham Grup Bakrie, PT Energi Mega Persada Tbk. (ENRG) juga melonjak 6,50 persen. Namun, sepanjang 2023 saham ENRG masih terkoreksi 10,88 persen.
Saham PT AKR Corporindo Tbk. (AKRA) juga terapresiasi 4,93 persen ke Rp1.490. AKRA merupakan perusahaan dengan pemasukan utama dari distribusi BBM. Sepanjang 2023, saham AKRA naik 6,43 persen. terakhir, saham PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS) atau PGN juga menguat 2,95 persen menjadi Rp1.395. Namun, saham PGAS masih tertekan 20,74 persen sepanjang tahun berjalan.
Investment Analyst Stockbit Sekuritas Hendriko Gani mengatakan, serangan Hamas ke Israel membuat kekhawatiran terkait suplai minyak global apabila terjadi eskalasi pada perang tersebut. Hal itu membuat investor cenderung berspekulasi pada harga minyak, sehingga harga minyak melonjak dan juga membuat harga saham terkait minyak melonjak.
Baca Juga
“Untuk jangka pendek, saya rasa harga minyak akan cenderung volatil, begitu juga dengan saham oil related. Untuk jangka panjang, sejauh apa harga minyak dapat melambung, saya rasa perlu dianalisa lagi terkait geopolitik di daerah tersebut, karena oil demand dari global ini cenderung masih lemah.” kata Hendriko pada Bisnis, Senin (9/10/2023).
Hendriko menambahkan, apabila terjadi penurunan produksi kedua negara, Palestina dan Israel, kemungkinan tidak akan terlalu berdampak. Di mana kedua negara tersebut bukan merupakan major global oil producers.
“Apalagi kita tahu kenaikan harga minyak kali ini diakibatkan oleh supply cut dari Arab Saudi dan Russia. Jadi, kalau ada penurunan dari kedua negara, dengan harga oil yang masih tinggi dan favorable untuk Rusia maupun Arab, supai masih dapat digantikan oleh penambahan dari Arab Saudi atau Rusia” imbuh Hendriko.
Namun, Hendriko menjelaskan, sampai mana eskalasi perang akan berlanjut tetap harus dipantau. Karena apabila keadaan semakin parah, tentu lonjakan harga minyak yang lebih tinggi mungkin dapat terjadi.
Senada, Riset CGS CIMB Sekuritas juga menyebutkan, meski Israel maupun Palestina bukan pemain minyak mentah utama, akan tetapi jika eksalasi perang merembet ke dua kekuatan besar di pasar minyak seperti Iran dan Amerika serikat, maka lonjakan harga minyak kian tak terelakan.
Menurut CGS-CIMB Sekuritas, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti keterlibatan Iran dalam serangan tersebut yang dapat mempengaruhi Amerika untuk memberikan tambahan sanksi terhadap ekspor minyak Iran yang saat ini berada pada level sebelum 2018.
"Oleh karena itu, kami meyakini jika Israel menyerang infrastruktur milik Iran, maka harga minyak akan naik tajam seiring peluang terganggunya pasokan minyak mentah," tulis CGS-CIMB Sekuritas, Senin (9/10/2023).
Produksi minyak mentah Iran sebesar 9-10 persen dari total produksi OPEC, dan menurut laporan dari OPEC produksi minyak mentah Iran terus menunjukan adanya peningkatan.
CGS-CIMB Sekuritas juga memperkirakan harga saham emiten minyak dan gas berpotensi bergerak searah dengan kenaikan harga minyak mentah seperti perdagangan, Senin (9/10/2023).
"Korelasi antara harga minyak mentah dan harga saham untuk AKRA sebesar 77 persen, PGAS 66 persen, dan MEDC 53 persen," kata laporan CGS-CIMB tersebut.
Setiap kenaikan harga minyak mentah sebesar US$5 per barel, kata CGS-CIMB Sekuritas, terdapat kenaikan laba bersih per saham sebesar 4 persen dan 3 persen implied valuation bagi PGAS.
Kemudian untuk MEDC terdapat ada kenaikan laba bersih per saham sebesar 10 persen dan 7 persen implied valuation. Adapun CGS-CIMB mengasumsikan harga minyak mentah di level US$85/80/80 per barrel untuk proyeksi tahun 2023-2025.
Untuk diketahui, Hamas pada hari Sabtu (7/9) meluncurkan serangan militer terbesar ke Israel dalam beberapa dekade, menewaskan ratusan warga Israel dan memicu gelombang serangan udara Israel di Gaza yang juga telah menewaskan lebih dari 400 orang.
Serangan yang dilakukan oleh kelompok militan Palestina Hamas melintasi pagar pembatas tepat setelah fajar. Pada saat yang sama, rentetan roket diluncurkan dari Gaza, beberapa mencapai Tel Aviv dan Yerusalem.
Atas serangan tersebut, militer Israel membalas dengan puluhan jet tempur melakukan serangan udara terhadap lokasi Hamas di Gaza, dan telah menghantam 17 kompleks militer. Mereka juga memobilisasi puluhan ribu pasukan cadangan.
Meletusnya konflik tersebut juga mengancam gagalnya upaya AS untuk menengahi pemulihan hubungan antara Arab Saudi dan Israel, di mana Saudi akan menormalisasi hubungan dengan Israel sebagai imbalan atas kesepakatan pertahanan antara Washington dan Riyadh.
Para pejabat Saudi dilaporkan telah menyampaikan kepada Gedung Putih pada Jumat bahwa mereka bersedia meningkatkan produksi tahun depan sebagai bagian dari kesepakatan yang diusulkan dengan Israel.
Peningkatan produksi Saudi akan membantu meringankan pengetatan setelah berbulan-bulan pengurangan pasokan dari produsen utama Arab Saudi dan Rusia.
Normalisasi hubungan Saudi-Israel kemungkinan akan menghambat kemajuan baru-baru ini menuju kesepakatan damai antara Arab Saudi dan Iran, yang secara terbuka memuji serangan Hamas.
Para analis khawatir pasokan minyak dapat tersendat jika Iran terseret ke dalam konflik.
“Jika konflik menyelimuti Iran... hingga 3 persen dari suplai minyak global terancam. Dan jika konflik yang lebih luas terjadi yang akhirnya berdampak pada transit melalui Selat Hormuz, sekitar 20 persen pasokan minyak global dapat terancam,” kata Kavonic.