Bisnis.com, JAKARTA — Penerbitan surat utang atau obligasi diperkirakan masih akan mengalami penurunan pada sisa 2023 dibandingkan dengan realisasi tahun lalu.
Macro Strategist Samuel Sekuritas Lionel Priyadi mengatakan, menurunnya jumlah penerbitan surat utang pada semester II/2023 tak terlepas dari dampak keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (The Fed) untuk kembali menahan suku bunga acuannya di level 5,25 persen-5,5 persen.
Langkah The Fed untuk menahan suku bunga di level yang cukup tinggi itu diprediksi akan berpengaruh pada kenaikan biaya dana cost of fund.
“Aktivitas penerbitan obligasi tahun ini cenderung sepi karena gabungan faktor suku bunga tinggi yang membuat cost of fund obligasi akan semakin mahal maupun defiait anggaran yang rendah,” jelas Lionel ketika dihubungi Bisnis, Kamis (27/9/2023).
Kondisi ini pun pada akhirnya mendorong Samuel Sekuritas untuk lebih berfokus membawa perusahaan melakukan penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) saham, dibandingkan dengan langkah untuk menerbitkan surat utang.
Adapun, Lionel menyampaikan bahwa pihaknya belum akan menjadi penjamin emisi obligasi korporasi hingga penghujung tahun 2023.
Baca Juga
“Saat ini fokus kami lebih ke IPO saham dibandingkan obligasi, jadi project kami hampir semuanya terkait saham kecuali awal 2024 dengan PT PP (Persero) Tbk. (PTPP),” lanjutnya.
Lebih lanjut, Macro Strategist Samuel Sekuritas itu menilai bahwa penerbitan obligasi korporasi berpeluang untuk kembali semarak pada 2024 dan 2025, jika saja The Fed dan Bank Indonesia (BI) pada akhirnya memutuskan untuk memangkas suku bunga acuannya masing-masing.
Sementara itu, berdasarkan data PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), angka jatuh tempo obligasi korporasi akan memuncak pada September 2023 dengan nilai mencapai Rp19,28 triliun.
Secara kumulatif, total jatuh tempo selama Juli-Desember 2023 mencapai Rp75,49 triliun atau Rp24,09 triliun lebih tinggi dibandingkan dengan semester I/2023.
Hal itu pun dimaknai Fixed Income Analyst Pefindo Ahmad Nasrudin sebagai salah satu faktor pendorong dari peningkatan jumlah penerbitan surat utang pada paruh kedua tahun ini.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang solid membuat permintaan terhadap barang dan jasa terjaga dan memantik kebutuhan pendanaan untuk modal kerja dan investasi perusahaan. Ahmad juga menyoroti faktor tingkat yang kompetitif dibandingkan dengan pinjaman perbankan.
Tingkat kupon untuk peringkat A (single-A) ke atas cenderung lebih rendah dibandingkan dengan bunga pinjaman modal kerja dan investasi bank.
Di tengah faktor pendorong ini, terdapat pula sejumlah faktor penghambat. Ahmad mengatakan lingkungan bunga tinggi yang terus bertahan meningkatkan leverage keuangan dan mendorong investor meminta premi yang lebih tinggi.
Likuiditas perbankan saat ini juga cenderung masih ample sehingga menurunkan kebutuhan untuk menerbitkan surat utang, padahal, kata Ahmad, sektor multifinance dan perbankan adalah kontributor utama bagi penerbitan dalam beberapa tahun terakhir.
Downside factor lainnya datang dari strategi front loading 2022 yang mendorong perusahaan menerbitkan surat utang pada tahun lalu untuk mendapatkan bunga rendah, terutama saat semester pertama. Karenanya, insentif untuk penerbitan pada tahun ini cenderung berkurang.
Momentum masa kampanye dan Pemilu 2024 turut mempengaruhi keputusan korporasi untuk menerbitkan obligasi. Ahmad menilai pasar masih menantikan arah kebijakan kepemimpinan yang baru dan masa tunggu ini cenderung diiringi dengan ketidakpastian yang tinggi.
“Terakhir, siklus komoditas telah menuju akhir dan mengurangi kebutuhan untuk menerbitkan surat utang. Ini berlaku juga untuk sektor siklikal lainnya seperti bahan baku,” ujar dia.