Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak mentah naik untuk minggu ketiga berturut-turut lantaran pasar terus mengetat akibat pengurangan produksi yang dilakukan Arab Saudi dan Rusia.
Harga minyak Brent untuk pengiriman November 2023, terangkat 23 sen atau 0,3 persen menjadi menetap di US$93,93 per barel di London ICE Futures Exchange pada akhir perdagangan Jumat (15/9/2/2023) waktu setempat.
Harga minyak West Texas Intermediate AS untuk pengiriman Oktober 2023, menguat 61 sen atau 0,7 persen menjadi ditutup pada US$90,77 per barel di New York Mercantile Exchange.
Kedua kontrak tersebut diperdagangkan pada level tertinggi 10 bulan untuk sesi kelima berturut-turut, dan naik sekitar 4,0 persen secara mingguan.
Mengutip Bloomberg, Sabtu (16/9/2023), Badan Energi Internasional (IEA) dan Organisasi Negara Pengekspor Minyak atau OPEC memperingatkan minggu ini bahwa pasar akan mengalami defisit hingga akhir tahun, sehingga membantu mendorong harga naik sekitar 3,7 persen dari penutupan Jumat lalu.
Rentang waktu yang diawasi secara luas terus menandakan kekurangan pasokan. Selisih antara dua kontrak terdekat WTI mencapai 84 sen per barel intraday dalam kemunduran bullish, juga merupakan level tertinggi sejak November 2022.
Baca Juga
Dari sisi permintaan, gambarannya semakin cerah karena adanya tanda-tanda bahwa AS mungkin dapat menghindari resesi, sementara data dari China pada Jumat mengalahkan perkiraan para ekonom, menunjukkan bahwa penurunan terburuk telah berlalu.
Pengetatan pasar juga tercermin dalam melonjaknya harga bahan bakar, dengan solar mencapai rekor tertinggi musiman di New York.
Harga minyak mentah telah melonjak lebih dari 30 persen sejak pertengahan Juni, dengan prediksi analis sebesar US$100 per barel menjadi semakin jarang terjadi. Namun, ada indikasi teknis bahwa reli tersebut berlebihan.
Indeks kekuatan relatif Brent selama 14 hari telah berada di atas ambang batas yang menandakan potensi kemunduran selama dua minggu terakhir.
“Harga minyak mentah tetap dan strukturnya terus menurun. Pasar minyak mentah sekarang sepenuhnya berada di tangan OPEC karena sekarang terserah pada Saudi soal kapan harus mulai membalikkan sebagian dari pemotongan sukarela ini,” ,” kata Keshav Lohiya, pendiri konsultan Oilytics.