Bisnis.com, JAKARTA - Harga minyak menguat pada akhir perdagangan Jumat (1/9/2023) seiring dengan ekspektasi pengetatan pasokan global.
Harga minyak terangkat ke level tertinggi dalam lebih dari setengah tahun dan menghentikan penurunan dua minggu berturut-turut, mengutip Antara.
Harga minyak Brent untuk pengiriman November bertambah US$1,66 atau 1,9 persen menjadi US$86,49 per barel di London ICE Futures Exchange. Sebelumnya minyak Brent sempat naik ke US$88,75 per barel, tertinggi sejak 27 Januari 2023.
Harga minyak West Texas Intermediate AS untuk pengiriman Oktober meningkat US$1,39 atau 1,7 persen menjadi US$85,02 per barel di New York Mercantile Exchange. Sebelumnya WTI sempat naik menjadi US$85,81 per barel, tertinggi sejak 16 November 2022.
Brent naik sekitar 4,8 persen minggu ini, kenaikan terbesar dalam seminggu sejak akhir Juli. WTI menguat sebesar 7,2 persen dalam minggu ini, kenaikan mingguan terbesar sejak Maret.
Arab Saudi diperkirakan akan memperpanjang pengurangan produksi minyak secara sukarela sebesar 1 juta barel per hari hingga Oktober, memperpanjang pembatasan pasokan yang dirancang oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, yang secara kolektif dikenal sebagai OPEC+, untuk mendukung harga.
Baca Juga
Rusia, eksportir minyak terbesar kedua di dunia, telah sepakat dengan mitra OPEC+ untuk mengurangi ekspor minyak bulan depan, kata Wakil Perdana Menteri Alexander Novak pada Kamis (31/8/2023).
“Ada kesadaran bahwa perekonomian tidak akan mengalami penurunan drastis, dan tanda-tanda bahwa permintaan mendekati rekor tertinggi. Pasar harus menghadapi kenyataan bahwa persediaan berada di bawah rata-rata,” kata analis Price Futures Group, Phil Flynn.
Permintaan terhadap minyak di Amerika Serikat sangat tinggi, dengan persediaan minyak mentah komersial menurun dalam lima dari enam minggu terakhir, menurut survei yang dilakukan oleh Badan Informasi Energi AS.
Laporan AS yang diawasi ketat pada Jumat (1/9/2023) juga menunjukkan kenaikan tingkat pengangguran dan moderasi dalam pertumbuhan upah, memperkuat ekspektasi akan jeda kenaikan suku bunga.
Sementara itu, ekspektasi terhadap pemulihan permintaan di negara lain semakin meningkat.
Penurunan manufaktur di zona euro mereda bulan lalu, menunjukkan bahwa kondisi terburuk mungkin sudah berakhir bagi pabrik-pabrik yang kesulitan di blok tersebut, sementara pemulihan tak terduga di China memberikan harapan bagi negara-negara yang bergantung pada ekspor, menurut survei swasta.
Baik OPEC maupun Badan Energi Internasional bergantung pada importir minyak terbesar di dunia, China, untuk menopang permintaan minyak selama sisa tahun 2023, namun lambatnya pemulihan perekonomian negara tersebut membuat para investor khawatir.
Sisa tahun ini diperkirakan akan menyebabkan kekurangan pasokan, sebagian karena konsumsi global yang cukup sehat dan sebagian lagi karena tekad Saudi untuk memberikan harga dasar yang tinggi, kata Tamas Varga dari pialang minyak PVM.
“Kecuali perekonomian China menunjukkan kebangkitan yang percaya diri pada tahun depan, suasana akan sangat buruk,” katanya.
Sebagai indikasi pasokan di masa depan, jumlah rig minyak AS tidak berubah pada 512 minggu ini, yang merupakan angka terendah sejak Februari 2022, kata perusahaan jasa energi Baker Hughes pada Jumat (1/9/2023).