Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat ditutup menguat pada perdagangan Rabu (9/8/2023) ke Rp15.189,5 per dolar Amerika Serikat bersama dengan mayoritas mata uang lainnya di kawasan Asia.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah ditutup menguat 0,18 persen atau naik 28 poin sehingga parkir di Rp15.189,5 per dolar AS. Sementara itu, indeks dolar melemah 0,18 persen atau turun 0,18 poin ke 102,15 dibandingkan dengan posisi pembukaan 102,35.
Di kawasan Asia Pasifik, mayoritas mata uang bergerak di teritorial positif dengan kenaikan tertinggi dialami baht Thailand yang menguat 0,47 persen, kemudian disusul ringgit Malaysia menguat 0,32 persen dan yuan China menguat 0,30 persen.
Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi dalam risetnya menyebutkan dolar AS melemah di tengah perilisan data perekonomian terbaru China. Indeks harga konsumen (CPI) China menyusut 0,3 persen pada Juli 2023 dan merupakan kontraksi pertama dalam dua tahun.
Sementara itu, para pejabat China mengatakan bahwa penurunan tersebut hanya bersifat sementara dan data tersebut masih mengisyaratkan memburuknya kondisi ekonomi di negara tersebut.
Adapun inflasi IHK tumbuh sedikit di pada Juli dari bulan sebelumnya, sementara inflasi indeks harga produsen juga menyusut dengan laju yang lebih lambat. Pembacaan tersebut mendorong beberapa optimisme atas kenaikan inflasi China selama beberapa bulan mendatang, terutama karena Beijing meluncurkan lebih banyak langkah stimulus.
Baca Juga
Sinyal dovish dari The Fed turut menjadi pemicu pelemahan dolar AS. Presiden Fed Philadelphia Patrick Harker mengatakan suku bunga acuan AS sudah cukup tingg. Sementara itu, Ketua The Fed Jerome Powell memperjelas bahwa bank sentral sedang mengamati dengan cermat data ekonomi yang akan datang untuk panduan menjelang pertemuan Fed September.
Data inflasi konsumen terbaru yang dirilis pada Kamis (10/8/2023) waktu setempat diharapkan menunjukkan bahwa inflasi AS tumbuh sedikit pada Juli daripada bulan sebelumnya. Di sisi lain, para trader di pasar masih mengharapkan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin dalam pertemuan Fed selanjutnya dengan peluang 86,5 persen.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) memperkirakan kinerja penjualan eceran pada Juli 2023 tetap kuat secara tahunan.Hal tersebut tecermin dari Indeks Penjualan Riil (IPR) Juli 2023 sebesar 212,7 atau tumbuh positif sebesar 6,3 persen YoY.
Secara bulanan, penjualan eceran menunjukkan perbaikan meski berada pada fase kontraksi sebesar 0,3 persen mtm. Perbaikan tersebut terjadi pada beberapa kelompok, terutama Subkelompok Sandang, Kelompok Makanan, Minuman, dan Tembakau.
Dari sisi harga, responden memperkirakan tekanan inflasi akan menurun pada September 2023, tetapi berpotensi meningkat pada Desember 2023 sejalan dengan ekspektasi penjualan ke depan.
Selain itu, ada Sebagian ekonom yang mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di kuartal ketiga 2023 akan lebih rendah yaitu di kisaran 4,8 persen.
“Hal ini dikarenakan tantangan di kuartal ketiga dan kuartal keempat 2023 akan jauh lebih berat dikarenakan ekspor yang menurun,” tulis Ibrahim.
Melihat serangkaian data di atas, Ibrahim memperkirakan rupiah akan dibuka fluktuatif dan ditutup menguat di rentang Rp15.160—Rp15.230 per dolar AS.
Macro Equity Strategist Samuel Sekuritas Indonesia Lionel Priyadi sebelumnya mengemukakan rupiah sempat tertekan merespons memburuknya performa perdagangan China.
Investor memprediksi Bank Sentral China (PBOC) akan kembali memangkas suku bunga acuan untuk mencegah pelemahan lebih lanjut ekonomi China yang tengah dibayang-bayangi ancaman spiral deflasi. Situasi ini memicu depresiasi yuan yang menjalar ke mata uang lain di Asia, termasuk rupiah yang kemarin melemah 0,2 persen menjadi Rp15.218 per dolar AS.
Akan tetapi, kondisi di pasar obligasi lebih positif karena keputusan Kementerian Keuangan untuk menurunkan jumlah penerbitan SUN baru sebagai respons atas turunnya permintaan dalam lelang dua bulan terakhir.
“Kami memprediksi pasar obligasi dalam negeri, terutama instrumen INDON, akan terdampak positif dari aksi beli di pasar obligasi global yang tercermin dari kenaikan indeks obligasi S&P untuk developed market dan indeks EMBI untuk emerging market masing-masing 0.5 persen dan 0,3 persen,” tulis Lionel.