Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dibuka melemah ke level Rp15.208 pada pembukaan perdagangan Jumat (24/2/2023).
Mengutip data Bloomberg pukul 09.10 WIB, rupiah dibuka melemah 0,11 persen atau turun 16,5 poin ke Rp15.208 per dolar AS. Hal tersebut terjadi meskipun indeks dolar AS melemah sebesar 0,07 persen ke 104,52.
Bersama dengan rupiah, beberapa mata uang kawasan Asia yang melemah terhadap dolar AS adalah yen Jepang melemah 0,07 persen, won Korea Selatan melemah 0,23 persen, dan yuan China melemah 0,09 persen.
Sementara itu, mata uang Asia yang menguat terhadap dolar AS adalah peso Filipina yang menguat 0,51 persen, dan rupee India yang menguat 0,14 persen.
Sebelumnya, Direktur PT Laba Forexindo Ibrahim Assuaibi memprediksi rupiah akan dibuka berfluktuatif, tetapi ditutup melemah pada rentang Rp15.170-Rp15.230 per dolar AS untuk perdagangan hari ini, Jumat (24/2/2023).
Ibrahim mengatakan dolar AS melemah akibat pasar yang memanas dengan kemungkinan the Fed yang tetap agresif dalam menaikkan suku bunga. Terlebih lagi risalah pertemuan memperkuat sinyal hawkish the Fed untuk kebijakan moneter.
Baca Juga
Tanda-tanda ketahanan ekonomi seperti PDB AS yang akan rilis memberi the Fed banyak ruang untuk menaikkan suku bunga. Selain itu, pembacaan aktivitas bisnis yang lebih kuat dari perkiraan melanjutkan sinyal hawkish.
"Indeks harga Pengeluaran Konsumsi Pribadi untuk bulan Januari juga akan dirilis pada hari Jumat, dan diperkirakan akan menegaskan kembali bahwa inflasi tetap kaku sepanjang bulan,” ujar Ibrahim dalam riset, Kamis (23/2/2023).
Dari dalam negeri, pasar merespon positif surplus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mencapai Rp90,8 triliun atau setara dengan 0,43 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada Januari 2023.
Hal tersebut karena surplus kas negara pada bulan lalu jauh lebih tinggi dari surplus APBN pada Januari 2022 yang mencapai Rp29,6 triliun dan dari Januari 2021 yang mencatat defisit senilai Rp45,5 triliun,” katanya.
Surplus APBN berasal dari tingginya realisasi pendapatan negara yakni Rp232,2 triliun atau tumbuh 48,1 persen dari periode yang sama tahun lalu. Surplus ini juga mengindikasikan kondisi ekonomi makro yang masih tergolong kuat di tengah tingginya tren inflasi dan ancaman resesi.
Relaksasi pembatasan aktivitas masyarakat seiring menurunnya Covid-19 menjadi pendorong adanya surplus APBN. Selain itu, dengan kondisi makro tergolong kuat maka PDB akan bertahan di 5 persen pada 2023 atau lebih rendah dari 5,4 persen pada 2022.
Perekonomian indonesia meningkat menjadi 5,7 persen secara tahunan pada kuartal III/2022. Angka ini lebih tinggi dibanding 5,4 persen pada semester II/2022. Pertumbuhan perekonomian telah membantu dampak penurunan pendapatan riil dari kenaikan harga BBM subsidi.
Pemerintah juga memperluas subsidi angkutan umum daerah demi meredam dampak kenaikan BBM terhadap daya beli. Sementara pola konsumsi Indonesia diperkirakan melambat pada 2023 dan 2024. Hal ini karena meningkatnya angka inflasi yang tercermin dari pola inflasi pada 2013-2015.
“Dalam mengubah pola konsumsinya, masyarakat memiliki kecenderungan untuk mendahulukan pengeluaran harian seperti belanja bulanan dan BBM, juga keperluan rumah tangga,” jelasnya.