Bisnis.com, JAKARTA — Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hari ini berpotensi melemah seiring kurangnya sentimen positif.
Rupiah ditutup melemah tajam pada perdagangan Selasa (6/12/2022) di tengah penguatan indeks dolar AS. Mengutip data Bloomberg, rupiah ditutup melemah 1 persen atau 155 poin ke Rp15.617 per dolar AS. Sementara itu, indeks dolar AS menguat 0,04 persen ke 105,33.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan mata uang rupiah kemungkinan dibuka berfluktuatif namun ditutup melemah direntang Rp15.600 - Rp15.660 pada hari ini, Rabu (7/12/2022).
Menurutnya dolar AS bertahan terhadap mata uang utama pada Selasa, mengikuti reli terbesarnya dalam dua minggu setelah data jasa yang kuat di Amerika Serikat memicu taruhan bahwa Federal Reserve dapat menaikkan suku bunga lebih dari yang diproyeksikan baru-baru ini serta karena kekhawatiran baru akan kenaikan suku bunga AS sebagian besar mengimbangi optimisme atas pelonggaran pembatasan Covid-19 di China.
Namun, kemudian berbalik arah karena PMI non-manufaktur Institute for Supply Management (ISM) tiba-tiba naik, menunjukkan sektor jasa, yang menyumbang lebih dari dua pertiga aktivitas ekonomi AS tetap tangguh.
Komite Pasar Terbuka Federal memutuskan kebijakan pada 15 Desember. Pedagang saat ini mengharapkan kenaikan setengah poin ke kisaran kebijakan 4,25-4,5 persen persen dan tingkat terminal sedikit di atas 5 perden pada bulan Mei.
Baca Juga
"Fokus minggu ini sekarang pada data perdagangan China yang akan dirilis pada hari Rabu, untuk mengukur bagaimana ekonomi bertahan melalui peningkatan pembatasan Covid dalam sebulan terakhir," jelas Ibrahim dalam riset harian, Selasa (6/12/2022).
Dari sisi internal, proyeksi inflasi Indonesia pada 2023 berpotensi bergerak di 6 persen, kenaikan ini akibat dari ketidakpastian ekonomi global akibat perang antara Rusia dan Ukraina yang melibatkan negara-negara pihak ketiga, Perang dagang antara AS dan China. Sehingga inflasi ini akan melebihi perkiraan pemerintah, yakni di kisaran 2 - 4 persen.
Selain itu, Bank Indonesia menilai bahwa banyak negara yang baru akan merasakan penurunan inflasi pada akhir 2023. Artinya, kenaikan inflasi masih akan berlanjut dan terjaga pada tahun depan. Kenaikan inflasi menjadi gejala global sepanjang 2022. Hingga saat ini, laju inflasi global telah mencapai 8,2 persen dan melanda bukan hanya negara maju, tetapi juga negara berkembang.
Tingkat inflasi masih akan bertahan setidaknya sampai tahun depan. Sebagai contoh, Amerika Serikat mencatatkan inflasi hingga 8,8 persen, Inggris hingga 10 persen.
"Laju kenaikan akan sedikit tertahan oleh upaya pemerintah dalam menjaga inflasi bahan pangan. Pemerintah daerah berlomba-lomba memperoleh insentif dengan menurunkan inflasi di tempatnya melalui pemenuhan pasokan pangan. Langkah itu dapat berlanjut pada tahun depan demi meredam laju inflasi," imbuh Ibrahim.
Meskipun begitu, langkah itu saja tidak cukup, sehingga terdapat kemungkinan inflasi akan berada di atas harapan pemerintah. Sebagai contoh dalam dua kuartal terakhir terjadi peningkatan ekonomi yang signifikan, dengan dominasi konsumsi hingga 65 persen pengeluaran berasal dari kelas menengah dan atas. Hal tersebut menggambarkan resistensi kelompok menengah dan atas yang relatif tidak terdampak inflasi secara signifikan.
Tim riset MIFX melihat adanya potensi penguatan dolar AS yang dipicu Federal Reserve AS yang akan menaikan suku bunga lebih besar dari perkiraan. Sentimen lain yang dapat memicu pelemahan adalah kekhawatiran terhadap kekhawatiran krisis ekonomi Inggris.