Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami pelemahan 0,55 persen pada pembukaan perdagangan hari ini, Selasa (30/8/2022).
Berdasarkan data Bloomberg, di pasar spot, nilai tukar rupiah berada pada level Rp14.897,5 per dollar AS atau terkoreksi 0,55 persen setara 81 poin pada pukul 09.08 WIB.
Rupiah telah melemah 4,45 persen sepanjang tahun. Baru dibuka, rupiah sempat melemah ke level Rp14.095,5 per dollar AS.
Adapun, indeks dollar AS mengalami penguatan pada pagi hari ini 0,03 persen atau 0,025 poin ke level 108,81.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi dalam dalam riset harian mengatakan, dolar AS melonjak ke level tertinggi selama 20 tahun terhadap sekeranjang mata uang pada hari ini.
Hal tersebut terjadi setelah Ketua Federal Reserve Jerome Powell mengisyaratkan suku bunga akan dipertahankan lebih tinggi dan lebih lama untuk menurunkan inflasi yang melonjak.
Jerome Powell sebelumnya mengungkapkan penolakan gagasan kemiringan dovish oleh The Fed. Dia memperingatkan bahwa konsumen dan bisnis AS harus bersaing dengan suku bunga yang lebih tinggi karena inflasi naik.
Powell juga memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi di negara AS kemungkinan akan melambat sebagai akibatnya.
“Pasar sekarang memperkirakan peluang sekitar 76,5 persen dari kenaikan suku bunga 75 basis poin pada pertemuan Fed berikutnya pada bulan September,” ungkap Ibrahim dalam riset hariannya, Senin (29/8/2022).
Oleh sebab itu, pada pekan ini fokus pelaku pasar beralih ke data penggajian AS yang akan dirilis Jumat, yang dapat memberi The Fed lebih banyak ruang untuk menaikkan suku bunga.
Sementara itu dari domestik, Ibrahim menyampaikan sentimen datang kenaikan bahan bakar minyak (BBM) yang akan diumumkan oleh pemerintah pada Rabu (31/8/2022) mendatang yang hingga saat ini masih terdapat penolakan dari masyarakat.
Ibrahim memperkirakan kenaikan harga BBM Pertalite yang akan mulai berlaku pada 1 September 2022, masih berada dibawah Rp10.000 per liter dengan rentang kenaikan Rp1.000 sampai Rp2.500 atau sekitar 30 persen dari harga saat ini.
“Pada dasarnya tujuan kebijakan subsidi BBM untuk mengurangi beban dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, kebijakan tersebut tampaknya bukan kebijakan yang paling efektif untuk memenuhi tujuan ini,” ungkap Ibrahim.
Ibrahim menilai subsidi energi, termasuk bahan bakar minyak, menimbulkan biaya ekonomi, fiskal, sosial dan lingkungan yang signifikan. Ibrahim mengatakan, tanpa upaya luar biasa dan segera, defisit perdagangan energi bisa mencapai sekitar US$80 miliar atau 3 persen PDB pada 2040.