Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ada 5 Emiten Rentan Terhadap Pelemahan Rupiah, ASRI dan ICBP Masuk

ASRI dan ICBP terbilang rentan apabila rupiah melemah karena menghasilkan pendapatan dalam mata uang lokal, tetapi bergantung pada utang dolar AS.
Moodys menyebut emiten MDLN, ASRI, APLN, GJTL, dan ICBP rentan terhadap pelemahan rupiah. /Bisnis-Eusebio Chrysnamurti
Moodys menyebut emiten MDLN, ASRI, APLN, GJTL, dan ICBP rentan terhadap pelemahan rupiah. /Bisnis-Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Perlambatan ekonomi global dan pengetatan kebijakan moneter Amerika Serikat yang mendorong reli dolar AS, meningkatkan kekhawatiran tentang depresiasi mata uang rupiah. Lembaga pemeringkat Moody's menyebut, lima emiten pasar modal rentan terhadap pelemahan rupiah.

Riset Moody's menyebut mata uang rupiah relatif stabil terhadap dolar AS selama 12-18 bulan terakhir. Hal ini disebabkan karena lonjakan ekspor di tengah harga komoditas yang tinggi.

"Namun, risiko depresiasi rupiah meningkat di tengah volatilitas pasar yang meningkat," tulis riset Moody's, dikutip Minggu (19/6/2022).

Moody's memandang rupiah yang lebih lemah sebagai kredit negatif bagi perusahaan yang berbasis di Indonesia, yang menghasilkan pendapatan dalam mata uang lokal, tetapi bergantung pada utang dolar AS untuk mendanai biaya operasi mereka, atau memiliki biaya operasi dolar yang signifikan, atau keduanya.

Dari 31 perusahaan yang diperingkat Moody's, 5 perusahaan memenuhi kriteria tersebut. Lima perusahaan tersebut adalah pengembang properti PT Modernland Realty Tbk. (MDLN), PT Alam Sutera Realty Tbk. (ASRI), dan PT Agung Podomoro Land Tbk. (APLN). Lalu produsen ban PT Gajah Tunggal Tbk. (GJTL), dan produsen kebutuhan konsumer PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. (ICBP).

Moody's menjelaskan, MDLN dan ASRI terkena depresiasi rupiah lebih lanjut karena hampir semua utang mereka dalam mata uang dolar AS, yang sebagian besar tidak dilindungi nilai atau hedging. Selain itu, kedua emiten ini tidak menghasilkan pendapatan dalam dolar AS untuk memenuhi biaya pembayaran utang mereka dalam mata uang tersebut.

Sementara itu, APLN menurut Moody's memiliki sekitar 52 persen utang dalam dolar AS dan rentan karena posisi likuiditas perusahaan yang sudah lemah. Moody's meyakini APLN akan membutuhkan pinjaman eksternal untuk menutupi biaya bunga jika rupiah melemah lebih lanjut.

Lalu, GJTL menghasilkan 65 persen dari arus kasnya dalam rupiah. Namun, GJTL memiliki 50-60 persen utang dalam dolar AS dan sebagian besar biaya operasional dan belanja modalnya dalam mata uang dolar AS.

Selain itu, senior secured notes senilai US$175 juta dan pinjaman modal kerja sebesar US$26 juta GJTL tidak dilindungi nilai. Ketidaksesuaian dalam mata uang ini mengekspos neraca GJTL saat rupiah melemah.

Sementara itu emiten Grup Salim ICBP, menurut Moody's menghasilkan 70-75 persen pendapatannya dalam rupiah. Hampir semua utang ICBP dalam mata uang dolar AS, dengan biaya yang signifikan dalam mata uang dolar AS untuk mengimpor bahan baku. Selain itu, obligasi ICBP senilai US$2,75 miliar tidak dilindungi nilai. .

"Namun, ada beberapa hal yang meringankan, karena jatuh tempo surat utangnya lama hingga tahun 2031, yang berarti tidak ada kebutuhan pembiayaan kembali dalam waktu dekat," tutur Moody's.

Selain itu, kekuatan harga ICBP yang kuat, EBITDA yang stabil, dan arus kas yang dihasilkan, membantu membatasi dampak depresiasi mata uang.

Adapun dengan pasar modal yang masih bergejolak dan investor yang selektif, Moody's memperkirakan risiko refinancing masih akan tetap tinggi. Terutama bagi perusahaan dengan tingkat imbal hasil tinggi.

"Meski begitu, risiko ini relatif terkendali untuk portofolio Indonesia yang kami peringkat karena hanya sekitar $1,4 miliar dari utang berimbal hasil tinggi yang diperingkat akan jatuh tempo sebelum 2024," kata Moody's.

Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.

 
pangan bg

Uji pemahamanmu mengenai aplikasi mobile banking

Apa yang menjadi pertimbangan utama Anda dalam memilih aplikasi mobile banking?

Seberapa sering Anda menggunakan aplikasi mobile banking?

Fitur apa yang paling sering Anda gunakan di aplikasi mobile banking?

Seberapa penting desain antarmuka yang sederhana bagi Anda?

Apa yang membuat Anda merasa nyaman menggunakan aplikasi mobile banking tertentu?

Apakah Anda mempertimbangkan reputasi bank sebelum mengunduh aplikasinya?

Bagaimana Anda menilai pentingnya fitur keamanan tambahan (seperti otentikasi biometrik)?

Fitur inovatif apa yang menurut Anda perlu ditambahkan ke aplikasi mobile banking?

Apakah Anda lebih suka aplikasi yang memiliki banyak fitur atau yang sederhana tetapi fokus pada fungsi utama?

Seberapa penting integrasi aplikasi mobile banking dengan aplikasi lain (misalnya e-wallet atau marketplace)?

Bagaimana cara Anda mengetahui fitur baru pada aplikasi mobile banking yang Anda gunakan?

Apa faktor terbesar yang membuat Anda berpindah ke aplikasi mobile banking lain?

Jika Anda menghadapi masalah teknis saat menggunakan aplikasi, apa yang biasanya Anda lakukan?

Seberapa puas Anda dengan performa aplikasi mobile banking yang saat ini Anda gunakan?

Aplikasi mobile banking apa yang saat ini Anda gunakan?

pangan bg

Terimakasih sudah berpartisipasi

Ajak orang terdekat Anda untuk berpartisipasi dalam kuisioner "Uji pemahamanmu mengenai aplikasi mobile banking"


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper