Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah kebijakan baru mewarnai pergerakan industri reksa dana di awal tahun 2022.
Pada awal tahun ini, pemerintah menyatakan transaksi reksa dana dengan nilai di atas Rp 10 juta mulai dikenakan bea meterai Rp 10 ribu per 1 Maret. Selain itu, pemerintah juga memberlakukan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11 persen dari sebelumnya 10 persen.
Hal ini melanjutkan tren perubahan kebijakan perpajakan di industri reksa dana yang terjadi sejak tahun 2021. Pada tahun lalu, pembelian obligasi oleh reksa dana pendapatan tetap dikenai tarif pajak 10 persen, naik dari 5 persen.
Terkait hal tersebut, Chief Investment Officer STAR AM Susanto Chandra menuturkan, tambahan bea materai dan peningkatan 1 persen pada PPN yang sebelumnya memang akan meningkatkan beban reksa dana.
Meski demikian, menurutnya kebijakan-kebijakan tersebut belum akan menimbulkan dampak signifikan terhadap daya tarik reksa dana di mata investor.
Ia menuturkan, besaran tersebut masih dapat ditangani selama kinerja perekonomian Indonesia terus membaik. Kondisi perekonomian yang bagus akan berdampak pada kenaikan imbal hasil pasar modal Indonesia.
Baca Juga
“Penerapan bea materai tersebut juga berlaku apabila investor memilih untuk melakukan investasi langsung terhadap instrumen saham,” jelasnya saat dihubungi, Kamis (7/4/2022).
Senada, Direktur Utama Pinnacle Persada Investama Guntur Putra menyebutkan, secara keseluruhan, kenaikan PPN dan biaya meterai untuk transaksi tidak akan berpengaruh banyak terhadap perkembangan reksa dana.
Ia mengatakan, memang akan ada sedikit penambahan biaya transaksi seiring dengan kenaikan PPN. Meski demikian, menurutnya, kenaikan biaya tersebut tidak akan signifikan.
“Memang akan ada sedikit penambahan biaya, tetapi prospek dan daya tarik reksa dana akan tetap menarik,” katanya.
Adapun, Guntur mengatakan Pinnacle akan tetap fokus untuk menjaga kinerja produk secara konsisten. Strategi investasi untuk produk reksa dana aktif banyak menerapkan proses kuantitatif dan investasi berbasis data (data driven investing).
“Kinerja di beberapa produk pasif (indexing) kami juga cukup efisien, sebagai contoh Pinnacle FTSE Indonesia Index Fund, secara ytd juga masih cukup menarik di 1,.46 persen mengungguli IHSG dengan catatan 8,61 persen ytd,” jelasnya.
Sementara itu, Susanto mengatakan STAR-AM akan terus meningkatkan kinerja produk-produk reksa dana yang dimiliki. Hal ini dilakukan melalui strategi alokasi aset yang dinamis dengan menggunakan analisa fundamental, baik secara top-down maupun bottom-up.
Sebelumnya, Kemal Fajri Mohsin, Head of Institutional & Intermediary Business STAR AM mengatakan, pihaknya menargetkan pertumbuhan dana kelolaan sebesar 50 persen dari tahun lalu atau berada di kisaran Rp12,3 triliun.
Ia mengatakan, optimisme perusahaan ditopang oleh membaiknya kondisi pandemi virus corona di Indonesia. Hal tersebut turut meningkatkan keyakinan pasar terhadap pemulihan ekonomi yang akan turut berdampak positif terhadap industri reksa dana.
Guna mencapai target tersebut, STAR AM akan terus meningkatkan basis klien institusi maupun mitra distributor APERD. STAR AM juga akan terus berinovasi dalam membuat produk – produk baru dengan tema dan skema yang menarik untuk memenuhi kebutuhan klien.
“Menurut kami inovasi akan produk-produk yang bertema dan skema menarik dapat meningkatkan daya saing. Seiring dengan itu, performa yang atraktif dan pertumbuhan ekonomi juga menjadi faktor krusial,” jelasnya.