Bisnis.com, JAKARTA – Tiga risiko besar tengah membayangi korporasi dalam upaya menerbitkan obligasi pada awal tahun ini.
Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas Handy Yunianto menjelaskan penerbitan obligasi global atau global bond mungkin bakal menantang pada tahun ini.
Menurutnya di awal 2022, tiga risiko besar di pasar modal masih akan menghantui, yakni normalisasi suku bunga oleh the Fed, ekspektasi outlook pelemahan ekonomi di China, dan perkembangan varian baru Covid-19.
Kemudian, yang terbaru aktivitas geopolitik Rusia dan Ukraina yang sudah masuk eskalasinya menjadi invasi. Risiko yang bisa menyebabkan yield obligasi lebih tinggi dari perkiraan yakni jika the Fed melakukan kenaikan suku bunga lebih agresif dari perkiraan.
Risiko lainnya, jika terjadi kenaikan kasus Covid, yang bisa memicu masalah supply disruption dan berpotensi terjadinya risiko stagflasi atau inflasi tinggi namun ekonomi melambat. Di masa stagflasi kinerja pasar modal baik itu obligasi maupun saham biasanya akan turun. Salah satu yang masih bisa naik adalah komoditas seperti emas.
Namun, jika dibandingkan dengan negara-negara Emerging Market, dia percata posisi Indonesia relatif baik.
Baca Juga
Mandiri Sekuritas melihat ada beberapa perkembangan positif di pasar obligasi Indonesia, setelah pandemi ini. Pertama, ketergantungan asing semakin berkurang, porsi asing di pasar obligasi yang terus turun di bawah 20 persen dari posisi tertinggi sempat di atas 40 persen.
Selain itu, saat ini investor asing yang berinvestasi di obligasi juga lebih long term investors tercermin dari porsi bank sentral asing di pasar obligasi Indonesia meningkat menjadi 26 persen dari sebelumnya hanya 17 persen.
Kedua, dukungan dari investor domestik terus meningkat dan semakin beragam, terutama permintaan dari institutional non banks ataupun dari retail.
Hal ini juga didukung oleh adanya penurunan pajak bunga obligasi dari tadinya 15 persen menjadi 10 persen. Selain itu, likuiditas yang melimpah tercermin dari LDR yang terus turun, mendorong permintaan obligasi oleh investor lokal terus meningkat.
Ketiga, secara valuasi, yield obligasi Indonesia juga memberikan real yield yang paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya.
"Kebijakan prudent fiskal yang akan mengembalikan defisit anggaran maksimal 3 persen terhadap PDB di tahun 2023, juga akan positif buat pasar obligasi karena ini bisa menurunkan supply SBN ke depannya," katanya dikutip Selasa (1/3/2022)..
Sebagai ilustrasi pada 2020, saat defisit fiskal hingga di atas 6 persen PDB, pemerintah harus menerbitkan obligasi mencapai lebih dari Rp1.500 triliun untuk membiayai defisit anggarannya.
Namun tahun ini, dengan asumsi defisit anggaran hanya 4,1 persen dari PDB, maka penerbitan obligasinya turun menjadi Rp1.100 triliun.
"Tahun ini, Bank Indonesia juga masih akan melakukan burden sharing dengan membeli obligasi pemerintah di pasar perdana dengan target Rp214 triliun melalui mekanisme private placement sehingga target lelang obligasi juga turut berkurang," urainya.
Faktor lain yang bisa menurunkan target penerbitan utang tahun ini adalah potensi optimalisasi penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL) yakni akumulasi dari sisa pembiayaan dari tahun-tahun sebelumnya, yang nilainya mencapai Rp333 triliun pada awal 2022.
"Kesimpulan pasar obligasi akan kembali diuji resiliensinya. Kami perkirakan ada potensi kenaikan yield SBN tahun ini, tapi kami melihat ini merupakan kesempatan bagi investor untuk mendapatkan entry level yang lebih bagus," katanya.
Menurutnya, jika Indonesia bisa terus memperbaiki kondisi eksternal, menjaga balance of payment tetap positif, menjaga inflasi tetap terkendali, dalam jangka panjang arah yield SBN untuk turun lebih rendah lagi di bawah 6 persen akan sangat terbuka.