Bisnis.com, JAKARTA – Pengesahan legalitas instrumen exchange traded funds (ETF) berbasis Bitcoin dinilai dapat menjadi faktor penopang harga aset kripto tersebut pada awal tahun 2022 mendatang.
Research & Development Manager ICDX Jericho Biere menyebutkan, Bitcoin menyentuh angka tertingginya yaitu di level US$68.789 pada 10 November 2021 dan turun sebesar 32 persen di level terendahnya selama bulan Desember 2021. Hal ini menjadikan perdagangan Bitcoin masuk kedalam area bearish saat ini.
Ia menjelaskan, beberapa sentimen negatif yang berpengaruh terhadap pergerakan Bitcoin saat ini masih terkait dengan peraturan dan hukum di beberapa negara, seperti di Cina yang masih melarang masyarakatnya melakukan penambangan (mining) Bitcoin.
Perhatian terhadap isu lingkungan dan kaitannya terhadap aset kripto juga menekan harga Bitcoin. Sejumlah negara seperti Kazakhstan dan AS memandang aktivitas mining tidak ramah lingkungan seiring dengan penggunaan listrik yang besar dan tidak berkelanjutan.
“Selain itu, penundaan atas legalitas instrumen exchange traded fund (ETF) Bitcoin oleh The U.S. Securities and Exchange Commission (SEC) mempengaruhi pandangan masyarakat global atas posisi Bitcoin, sehingga harga Bitcoin masih tertekan di bawah US$51.000,” jelasnya saat dihubungi pada Selasa (21/12/2021).
Meski demikian, penundaan yang dilakukan Securities and Exchange Commission (SEC) tersebut dapat menjadi sentimen positif bagi Bitcoin untuk tahun 2022. Jericho menjelaskan, penundaan legalitas ETF Bitcoin rencananya akan direalisasikan pada Februari 2022.
Baca Juga
Hal ini dapat menopang pergerakan aset kripto dengan kapitalisasi pasar terbesar di dunia itu pada awal tahun depan. Menurutnya, harga Bitcoin dapat bergerak pada kisaran US$57.000 hingga US$62.000 di awal 2022 mendatang.
Sebelumnya, Senior Commodity Strategist Bloomberg Intelligence, Mike McGlone dalam Global Cryptocurrencies 2022 Outlook edisi Desember 2021 yang dirilis Bloomberg menyebutkan, tren koreksi Bitcoin yang terjadi saat ini secara fundamental masih menunjukkan pola bullish. Hal ini diprediksi akan menjadi bantalan bagi Bitcoin untuk menguat pada tahun depan.
Riset tersebut menyebutkan, pergerakan harga Bitcoin dinilai mampu melewati sentimen pelarangan penambangan aset kripto oleh pemerintah China dan konsumsi energi yang tidak efisien melalui aktivitas penambangan (mining). Hal tersebut terlihat dari pemulihan harga yang terjadi setelah mengalami koreksi signifikan hingga ke kisaran US$30.000 pada Juli lalu.
“Mayoritas aktivitas penambangan telah berpindah ke lokasi yang lebih aman di AS dan Kanada. Sementara itu, penggunaan energi terdesentralisasi juga mengindikasikan kekuatan Bitcoin,” ujar McGlone dikutip dari risetnya.
Ia menyebutkan, pertanyaan kunci yang dihadapi Bitcoin menjelang awal 2022 adalah apakah pergerakan harga kripto tertua tersebut akan menyentuh puncaknya atau hanya sekadar fase konsolidasi untuk bergerak bullish ke depannya.
“Kami mempercayai Bitcoin sedang terkonsolidasi untuk bergerak lebih bullish. Saat ini, Bitcoin sedang dalam prosesnya untuk menjadi aset digital yang menjadi jaminan di pasar dunia,” jelasnya.
Seiring dengan hal tersebut, McGlone menyebutkan level support utama Bitcoin berada di US$ 50.000 dan titik resistance di US$ 100.000 pada tahun depan.