Bisnis.com, JAKARTA – Pemulihan ekonomi global dan rencana peralihan negara-negara ke sumber energi terbarukan akan memicu reli harga tembaga mendekati level tertingginya.
Berdasarkan data Bloomberg pada Selasa (27/4/2021), harga tembaga pada London Metal Exchange (LME) sempat menguat hingga ke level US$9.780 per ton , atau level tertingginya sejak Agustus 2011 lalu, sebelum parkir pada level US$9.751 per ton.
Adapun, secara year to date (ytd), harga komoditas yang dijuluki sebagai kompas perekonomian global ini telah menguat sebesar 25,56 persen pada LME.
Vice General Manager Jiangxi Copper Co., Chen Yunian memaparkan, kondisi fundamental pasar tembaga saat ini sangat positif. Hal ini salah satunya didukung oleh pemulihan ekonomi di China dan negara lain pada kuartal I/2021 lalu.
“Kami percaya diri bahwa harga tembaga dapat mencapai level US$10.000 per ton,” ujarnya dalam sebuah konferensi belum lama ini.
Adapun, harga tembaga saat ini semakin mendekati level tertingginya sepanjang masa, pada level US$10.190 per ton yang dicapai pada 2011 lalu.
Baca Juga
Kostas Bintas, Head of Copper Trading Trafigura Group mengatakan, peluang kenaikan harga tembaga dalam jangka panjang sangat terbuka. Hal ini didorong oleh prospek investasi negara-negara di sektor energi terbarukan dan kendaraan listrik.
“Kami memperkirakan harga tembaga akan menguat dari krisis pandemi virus corona dan hal tersebut sudah terjadi. Pandemi yang terjadi membuat seluruh dunia menjadi faktor utama dalam konsumsi tembaga, tidak seperti sebelumnya dimana China menjadi pemain utama,” jelasnya dikutip dari Bloomberg.
Trafigura memprediksi harga tembaga akan menembus level US$10.000 per ton pada tahun ini. Sementara itu, dalam 1 dekade mendatang, kisaran harga tembaga berada di level US$12.000 hingga US$15.000 per ton.
Sementara itu, Senior Metals Analyst di StoneX, Natalie Scott-Gray menyebutkan ruang kenaikan harga tembaga masih cukup besar. Hal ini terjadi ditengah pergerakan harga yang mulai memasuki fase jenuh beli (overbought).
“Pergerakan bullish tembaga untuk jangka panjang masih terjaga, dengan momentum jangka pendek yang juga semakin bertenaga,” jelas Scott-Gray dalam laporannya.
Commodity Analyst Commerzbank, Daniel Briesemann, mengatakan pertumbuhan ekonomi global yang terjadi saat ini bukan menjadi satu-satunya katalis positif untuk permintaan tembaga.
Menurutnya, komitmen pemerintah AS untuk beralih ke sumber energi terbarukan akan menjadi faktor pendukung yang signifikan. Seiring dengan komitmen tersebut, Briesemann memprediksi pasar tembaga akan mengalami keterbatasan pasokan yang berimbas pada penguatan harga.
Sementara itu, Analis Citigroup Ed Morse mengatakan, harga komoditas akan mengalami rebound yang cukup signifikan sepanjang tahun ini. Salah satu komoditas yang dinilai akan menikmati tren positif tersebut adalah tembaga.
Citigroup memproyeksikan harga tembaga akan mencatatkan rekor harga pada tahun ini, yakni US$10.500 per ton dalam 3 hingga 6 bulan mendatang.
“Komoditas hampir dipastikan akan mengalami tren yang baik pada tahun ini seiring dengan tingkat permintaan yang melebihi proyeksi produk domestik bruto (PDB) 5,5 persen pada mayoritas pasar,” jelas Morse dikutip dari laporannya.
Sementara itu, Analis Goldman Sachs Nicholas Snowdon dalam laporannya menjelaskan, pergerakan harga tembaga dalam jangka panjang menunjukkan tren yang positif. Harga tembaga juga berpotensi menyentuh level US$15.000 per ton pada 2025 mendatang.
“Proses transisi ke energi terbarukan akan mendukung lonjakan permintaan tembaga yang tidak akan diimbangi dengan kecukupan pasokan,” jelas Snowdon.
Ia menjelaskan, proses perpindahan sejumlah negara ke sumber energi ramah lingkungan akan menjadi katalis utama dalam pergerakan bullish tembaga dalam jangka panjang. Tembaga merupakan bahan baku utama instrumen-instrumen penting untuk sumber listrik alternatif ramah lingkungan.
Snowdon melanjutkan, tembaga akan melewati fase dengan tingkat permintaan yang tinggi dalam 1 dekade ke depan. Permintaan tembaga diprediksi melonjak hingga 600 persen pada 2030 mendatang seiring dengan proses perpindahan sumber energi yang terus berjalan.
Menurutnya, pasar tidak akan mampu mengimbangi laju permintaan tembaga ditengah pasokan yang sudah semakin berkurang saat ini. Snowdon memperkirakan pasar tembaga akan mengalami defisit pasokan sebesar 8,2 juta ton pada 2030 mendatang, atau dua kali lipat lebih besar dari shortfall pasokan yang mendorong reli harga tembaga pada awal tahun 2000 lalu.
Seiring dengan hal tersebut, Goldman Sachs meningkatkan target harga tembaga menjadi US$11.000 per ton dalam 12 bulan. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan prediksi Snowdon sebelumnya pada level US$10.500 per ton.
“Untuk tahun ini, rata-rata harga tembaga diperkirakan berada di kisaran US$9.675 per ton,” lanjut Snowdon.
Selanjutnya, Snowdon mematok target harga tembaga pada 2022 di level US$11.875 per ton. Harga tembaga kemudian akan terus meningkat pada periode 2023–2025 masing-masing pada target harga US$12.000 per ton, US$14.000 per ton, dan US$15.000 per ton.
Di sisi lain, General Manager Qianhai Mercantile Exchange, Dong Feng, menyatakan bahwa target harga yang dipatok Goldman Sachs terlalu tinggi. Meski demikian, dirinya meyakini tembaga dapat menembus level US$10.000 per ton.
“Harga US$10.000 per ton kemungkinan akan menjadi posisi normal yang baru untuk harga tembaga kedepannya. Hal ini ditopang oleh faktor pendorong seperti pemulihan ekonomi global dan inflasi dalam jangka menengah yang tidak dapat diubah,” ujarnya.