Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga WTI Minyak Makin Panas, Tembus US$67 Akibat Langkah OPEC+

Dilansir dari Bloomberg pada perdagangan Senin (8/3/2021) pukul 14.10 WIB, harga minyak WTI kontrak April 2021 naik 1,62 persen atau 1,07 poin menjadi US$67,16 per barel. Harga minyak Brent kontrak Mei 2020 meningkat 1,73 persen atau 1,2 poin menuju US$70,56 per barel.
Tempat penyimpanan minyak di Pelabuhan Richmond in Richmond, California/ Bloomberg - David Paul Morris
Tempat penyimpanan minyak di Pelabuhan Richmond in Richmond, California/ Bloomberg - David Paul Morris

Bisnis.com, JAKARTA — Harga minyak mentah melonjak ke level tertinggi selama dua tahun seiring keputusan OPEC+ untuk tetap membatasi suplai. Pun, tren kenaikan harga diproyeksi akan terus berlanjut.

Dilansir dari Bloomberg pada perdagangan Senin (8/3/2021) pukul 14.10 WIB, harga minyak WTI kontrak April 2021 naik 1,62 persen atau 1,07 poin menjadi US$67,16 per barel. Harga minyak Brent kontrak Mei 2020 meningkat 1,73 persen atau 1,2 poin menuju US$70,56 per barel.

Sebelumnya pada penutupan perdagangan Jumat (5/3/2021), harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak bulan April menguat 3,54 persen ke level US$66,09 per barel di New York Mercantile Exchange, level ini tertinggi sejak April 2019.

Sementara di waktu yang sama harga minyak Brent untuk kontrak Mei 2021 juga naik 3,93 persen ke level US$66,36 per barel di ICE Futures Europe.

Minyak meroket setelah OPEC+ mengejutkan pasar dengan tetap membatasi pasokan seiring ekonomi global mulai pulih dari kemerosotan akibat pandemi. Alhasil harga minyak terus menanjak, bahkan sejumlah bank besar menaikkan proyeksi harga mereka.

Goldman Sachs Group Inc. menaikkan perkiraan Brent sebesar US$5 per barel dan memprediksi minyak mentah global bisa menyentuh US$80 pada kuartal III/2021. Sementara Citigroup Inc. mengatakan minyak mentah bisa mencapai US$ 70 sebelum akhir bulan ini.

Pun, Australia & New Zealand Banking Group Ltd. menaikkan target tiga bulan menjadi US$70 per barel. JP Morgan meningkatkan proyeksi pergerakan harga untuk Brent yang semula diperkirakan naik US$2 menjadi US$3 per barel.

Analis JP Morgan Chase & Co Natasha Kaneva menilai pergerakan harga minyak saat ini merupakan level paling tinggi dari yang mereka ekspektasikan.

“Secara keseluruhan, ini adalah hasil paling bullish yang kami harapkan,” tulisnya dalam laporan, seperti dikutip dari Bloomberg, Minggu (7/2/2021)

Analis Futures Capital Wahyu Laksono mengatakan kenaikan harga minyak sudah diprediksi sejak tahun lalu. Pasalnya, pemulihan ekonomi pasti akan memengaruhi permintaan akan minyak global.

“Pada 2021 ini demand diperkirakan menguat signifikan, apalagi ketika program vaksin sudah mampu menekan kecemasan,” katanya kepada Bisnis, Minggu (7/3/2021)

Lebih lanjut dia mengatakan tren bullish akan berlanjut ditopang sejumlah sentimen seperti vaksinasi yang semakin massif, kebijakan Arab Saudi yang mendukung pembatasan suplai, disahkan stimulus AS, serta kenaikan permintaan China dan India.

"Bahkan akhir tahun atau awal tahun nanti penguatan signifikan bisa terjadi, di mana banyak investor sudah banyak bersiap mengantisipasi kenaikan harga pastinya," tambah Wahyu.

Head of Commodities Research di Standard Chartered Plc. Paul Horsnell mengatakan yang lebih penting dari sikap OPEC+ bukan hanya persoalan terbatasnya pasokan minyak dunia, melainkan betapa pergerakan harga bukan menjadi hal yang mereka khawatirkan.

“Mereka tidak terlalu khawatir tentang harga, tidak khawatir tentang pengetatan suplai ini. Kemungkinan untuk harga menembus US$70 [per barel] terbuka lebar,” ujarnya.

Laporan Citigroup Inc. memaparkan, harga minyak yang terus menanjak kemungkinan akan meningkatkan tekanan dalam OPEC+ karena beberapa anggota ingin memproduksi lebih banyak minyak untuk mengurangi tekanan ekonomi.

Di sisi lain, mereka menilai importir utama seperti China dan India juga tidak akan senang dengan sikap OPEC+ tersebut. Pun, aliansi tersebut kemungkinan akan mengubah arah negosiasi pada pertemuan berikutnya.

Diketahui, pada Kamis (4/5/2021) lalu OPEC untuk tidak menaikkan produksi mereka di bulan April. Pasalnya, mereka berpandangan bahwa kenaikan harga tidak akan memicu para pengebor minyak AS untuk menggenjot produksinya.

Menteri Energi Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa perusahaan produsen minyak sekarang lebih fokus pada dividen.

Sikap OPEC+ sekaligus memberikan poin bagi Arab Saudi yang mana telah menganjurkan pembatasan ketat untuk suplai minyak demi menjaga harga. Adapun sepanjang tahun ini harga minyak mentah telah melonjak lebih dari 30 persen seiring produksi OPEC+ yang terus dibatasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper