Bisnis.com, JAKARTA — Kinerja negatif reksa dana pendapatan tetap yang mencetak rapor minus dalam dua bulan pertama tahun ini diproyeksi hanya sementara.
Berdasarkan data Infovesta Utama, kinerja reksa dana pendapatan tetap yang tergambar dalam Infovesta 90 Fixed Income Fund Index masih tertekan sepanjang Februari 2021. Investasi kolektif berbasis kelas aset obligasi ini mencetak return atau imbal hasil negatif 1,08 persen secara bulanan.
Imbal hasil negatif reksa dana pendapatan tetap terseret pelemahan harga obligasi pemerintah. Terlihat dari kinerja Infovesta Government Bond Index yang negatif 0,90 persen. Padahal, Infovesta Corporate Bond Index mencetak kinerja positif 0,44 persen.
Begitu pula jika dilihat sepanjang tahun berjalan, kinerja reksa dana pendapatan menempati posisi paling bawah di antara jenis reksa dana lainnya dengan return minus 1,60 persen secara year to date.
CIO Fixed Income Manulife Aset Manajemen Indonesia Ezra Nazula mengatakan kinerja reksa dana pendapatan tetap sepanjang bulan lalu terpengaruh sentimen global yakni yield US Treasury atau imbal hasil obligasi AS yang melonjak tinggi sehingga menekan surat utang pemerintah Indonesia.
“Ada gejolak peningkatan US Treasury yang cukup besar, kalau US Treasury lagi naik tentu akan memengaruhi kelas aset obligasi, harga tertekan,” kata Ezra kepada Bisnis, Senin (1/2/2021)
Baca Juga
Mengacu pada data Departemen Obligasi Pemerintah AS, yield US Treasury tenor 10 tahun terus menanjak sepanjang Februari, dari posisi 1,11 persen di akhir Januari hingga sempat menyentuh 1,54 persen jelang akhir Februari, atau level tertinggi sejak Februari tahun lalu.
Ezra mengatakan tren pelemahan harga surat utang pemerintah (SUN) Indonesia akibat sentimen US Treasury tersebut membuat investor sedikit waswas dan cenderung wait and see untuk masuk ke pasar obligasi.
Meskipun demikian, dia menilai tren tersebut mulai mereda di awal Maret ini, terlihat dari yield US Treasury yang mulai turun ke level sekitar 1,43 persen.
Kenaikan US treasury menurut Ezra beberapa waktu lalu hanya sekadar euforia merespons berbagai perkembangan di AS. Euforia itu antara lain optimisme kelanjutan paket stimulus, proses vaksinasi yang tengah gencar dilakukan, dan penurunan kasus Covid-19 di global.
“Menurut saya terlalu berlebihan kenaikan US Treasury kemarin, karena secara fundamental kondisi makronya di AS masih belum ada pemulihan yang signifikan. Jadi pasti akan mulai stabil kembali yieldnya,” ujar Ezra lebih lanjut.
Di sisi lain, dia menilai pasar obligasi Indonesia jauh lebih baik secara fundamental, yang mmenana Bank Indonesia baru menurunkan suku bunga acuan ke level 3,50 persen, lalu kebijakan lain bank Sentral juga akomodatif, serta inflasi dan nilai tukar rupiah yang stabil.
Alhasil, dengan kondisi tersebut dia menilai obligasi Indonesia masih sangat menarik bagi investor dan kini tinggal menunggu volatilitas mereda. Pun, per hari ini yield SUN tenor 10 tahun masih berada di kisaran 6,66 persen.
“Dengan data-data ekonomi sekarang menunjukkan harusnya yield bisa di 5,5—6 persen, itu masih sangat menarik karena spreadnya cukup lebar, dengan inflasi, dengan deposito. Apalagi skrg era suku bunga rendah,” imbuh Ezra.
Bahkan, dia menyarankan investor untuk memanfaatkan momentum saat ini untuk masuk ke kelas aset obligasi, termasuk reksa dana pendapatan tetap karena kinerja obligasi akan berbalik positif sehingga investor mendapat peluang cuan.
Tak hanya itu, Ezra juga menyebut investor dapat mendiversifikasi portofolionya dengan produk kelas aset saham. Pasalnya, instrumen saham akan melaju di jalur positif seiring dengan tren pemulihan ekonomi.