Bisnis.com, JAKARTA — Bank Indonesia memangkas suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebanyak 25 bps menjadi 3,50 persen. Langkah BI tersebut dinilai akan memberikan dampak positif bagi pasar obligasi Indonesia.
Sebagai gambaran, sejak Juli 2019 hingga penurunan suku bunga hari ini, Bank Sentral telah menurunkan suku bunga acuan sebanyak 250 bps. Pun, posisi suku bunga 3,50 persen merupakan yang terendah sepanjang sejarah.
Direktur Mandiri Sekuritas Heru Handayanto mengatakan secara umum penurunan suku bunga akan berdampak positif bagi pasar obligasi, sebagaimana terjadi pada 2019 dan 2020 lalu.
Menurut Heru, Indonesia memang masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga karena angka inflasi masih sangat rendah sehingga masih memberikan tingkat bunga riil yang relatif tinggi dibandingkan dengan negara berkembang lainnya.
“Jadi suku bunga yang lebih rendah tentu akan bagus untuk pasar obligasi,” ujarnya dalam sesi webinar, Kamis (18/2/2021)
Dia juga memaparkan bahwa tren suku bunga rendah dan banjir likuiditas masih akan terus langgeng bahkan hingga tahun depan. Seiring dengan itu, tren yield rendah juga akan bertahan di pasar obligasi Indonesia.
Baca Juga
Dia mengestimasikan yield bond Indonesia tenor 10 tahun bisa terus turun hingga kisaran 5,75 persen—6 persen. Namun, angka tersebut masih lebih tinggi dari rata-rata 10 tahun terakhir dan jauh lebih tinggi dibanding yiled yang ditawarkan negara berkembang lainnya.
“Jika demikian, dengan asumsi pandemi Covid dapat terkendali dan defisit fiskal bisa pulih maksimal -3 persen dari PDB 2021, imbal hasil dari obligasi pemerintah di tahun ini bisa mencapai sekitar 6—8 persen,” tuturnya.
Kendati demikian, dia tetap mengingatkan beberapa hal yang menjadi tetap harus diperhatikan antara lain peningkatan kasus Covid-19 di Indonesia dan progres vaksinasi yang tak sesuai harapan, serta pelonggaran kuantitatif di AS yang lebih cepat dari prediksi.
Menurut Heru, pelonggaran kuantitatif akan berdampak pada aliran masuk portofolio asing. Namun, dengan adanya permintaan yang solid dari dalam negeri dan adanya sovereign wealth fund, hal tersebut dapat diimbangi.
“Kita punya SWF yang berpotensi dapat menarik lebih banyak aliran masuk asing yang berasal dari foreign direct investment, ini untuk mengimbangi penurunan risiko aliran masuk portofolio karena pengurangan quantitative easing AS,” pungkasnya.