Bisnis.com, JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mencatatkan pelemahan sepanjang pekan ini dengan tren koreksi yang membawa kurs kembali ke level Rp14.000.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah ditutup melemah 112,5 poin atau 0,81 persen menjadi Rp14.022,5 per dolar AS pada perdagangan Jumat (8/1/2021). Sementara itu, indeks dolar AS terpantau naik 0,1 persen menjadi 89,92.
Rupiah dibuka dibuka menguat pada level Rp13.917,5 pada Senin (4/1/2021), namun depresiasi nilai tukar dengan greenback terus berlangsung hingga penutupan yang menyalakan alarm tanda bahaya.
Padahal sebelum tahun baru, rupiah ditutup dengan sentimen yang lebih positif 80 poin atau 0,57 persen menjadi Rp14.050, meskipun dengan angka pertumbuhan kasus positif Covid19 yang terus bertambah.
Sebelumnya, Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, rencana Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dapat menjadi katalis negatif yang memengaruhi pergerakan rupiah.
"Rupiah diprediksi akan kembali dibuka melemah pada level Rp13.900 hingga Rp13.950," ujar Ibrahim dalam laporannya, Kamis (7/1/2021).
Baca Juga
Dia juga menyebutkan salah satu faktor penekan nilai rupiah adalah pemberlakuan kembali Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di wilayah Jawa dan Bali.
Namun, pengetatan ini dapat berpengaruh fatal terhadap konsumsi masyarakat yang berujung terhadap kontraksi pertumbuhan ekonomi di Kuartal I/2021 di kisaran 1 persen hingga 2 persen.
“Artinya, proyeksi pertumbuhan ekonomi yang di gadang-gadang oleh pemerintah sebesar 5 persen kemungkinan tidak akan tercapai dan pemerintah kemungkinan akan merevisi pertumbuhan ekonominya di kuartal I/2021,” tambahnya.
Di sisi lain, lonjakan imbal hasil obligasi AS membebani mata uang pasar berkembang. Lonjakan imbal hasil benchmark global utama meningkatkan prospek jeda dalam penurunan dolar baru-baru ini, yang dapat merusak momentum reli untuk aset berisiko.
Kemunduran dalam mata uang pasar berkembang juga dapat mencerminkan tekanan pada posisi dolar.
Semua kecuali tiga dari 24 mata uang negara berkembang yang dilacak oleh Bloomberg reli di kuartal keempat, dengan rand dan peso Kolombia naik lebih dari 10%.
Negara berkembang yang bergantung pada pembiayaan eksternal mungkin akan menemukan mata uang mereka sangat rentan terhadap kekuatan berkelanjutan greenback.
Dilansir melalui Bloomberg, Mitul Kotecha, ahli strategi pasar negara berkembang senior di TD Securities di Singapura mengungkapkan, mata uang Asia yang sensitif terhadap risiko seperti won Korea Selatan dan rupiah kemungkinan akan tetap tertinggal karena imbal hasil AS naik.
"Mata uang Asia dan beberapa konsolidasi jangka pendek telah menunjukkan kinerja baik selama beberapa minggu terakhir, aksi profit taking perlu diantisipasi," ujarnya Kotecha, seperti dikutip Sabtu (9/1).