Bisnis.com, JAKARTA - Harga minyak dunia kembali memanas seiring dengan penurunan cadangan minyak Amerika Serikat dan rencana pemangkasan produksi Arab Saudi.
Dilansir dari Bloomberg pada Kamis (7/1/2021), Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) sempat naik hingga 0,8 persen ke level US$51,05 per barel di New York Mercantile Exchange. Harga minyak pun ditutup naik 1,21 persen atau 0,61 poin menjadi US$50,94 per barel.
Sedangkan harga minyak Brent juga sempat menguat hingga 0,7 persen ke posisi US$54,69 di ICE Futures Europe. Penguatan ini sekaligus memperpanjang tren positif harga minyak dunia yang telah naik selama tiga hari beruntun.
Harga minyak berjangka di New York terus naik hingga mencapai level US$51 per barel setelah naik 6 persen dalam dua sesi perdagangan sebelumnya. Kenaikan ini terjadi setelah anjloknya jumlah cadangan minyak di Amerika Serikat.
Data dari Badan Administrasi Informasi Energi Amerika Serikat (US Energy Information Administration/EIA) mencatat, jumlah cadangan minyak mentah AS pada pekan lalu turun 8,1 juta barel. Jumlah tersebut jauh berada diatas estimasi survey yang dilakukan Bloomberg yang memproyeksikan penurunan 2,7 juta barel
Di sisi lain, jumlah cadangan bensin dan distilat di AS mengalami kenaikan, masing-masing sebesar 4,5 juta barel dan 6,4 juta barel. Kenaikan pasokan bensin dan distilat mengindikasikan penurunan permintaan terhadap bahan bakar seiring dengan terbatasnya pergerakan akibat pandemi virus corona.
Baca Juga
Turunnya cadangan minyak AS terjadi di tengah lonjakan kasus positif virus corona yang terjadi di seluruh dunia. Inggris kembali melaporkan lebih dari 1.000 kasus infeksi dalam sehari untuk pertama kalinya sejak April 2020. Sementara itu, Jepang akan kembali memberlakukan keadaan darurat nasional di wilayah Tokyo dan sekitarnya.
Chief Market Strategist di Axi, Stephen Innes mengatakan, penambahan jumlah cadangan bensin dan distilat di AS menunjukkan sentimen penyebaran virus corona yang terus terjadi. Meski demikian, ia meyakini sejumlah katalis positif lain dapat menekan hal tersebut.
“Beberapa sentimen yang memberi kepercayaan diri di pasar adalah upaya yang dilakukan Arab Saudi dan OPEC+ serta kepemimpinan AS yang akan segera berganti ke Joe Biden,” katanya dikutip dari Bloomberg.
Selain itu, sentimen pemilihan anggota Senat AS di negara bagian Georgia juga turut menopang reli harga minyak. Kemenangan dua kandidat Senator dari Partai Demokrat membuat partai tersebut kini memegang penuh kendali di Parlemen AS. Hal tersebut berpotensi memunculkan paket stimulus lanjutan yang akan mendukung kenaikan permintaan minyak dunia di Negeri Paman Sam.
Sementara itu, Arab Saudi memutuskan untuk memangkas produksi minyak harian sebesar 1 juta barel per hari untuk periode Februari – Maret 2021.
Menteri Energi Arab Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman mengatakan, setelah periode tersebut berakhir, Arab Saudi akan mengembalikan pasokan ke jumlah semula.
“Kami memberikan hadiah dan kejutan yang indah untuk industri perminyakan. Arab Saudi memperluas dukungannya untuk membantu industri,” ujarnya.
Pangeran Abdulaziz mengatakan, kebijakan pemangkasan ini dilakukan secara mandiri oleh Arab Saudi. Pihaknya juga tidak membahas rencana ini bersama dengan anggota-anggota OPEC+.
Menurutnya, kebijakan pemangkasan output lebih dalam akan semakin menyulitkan negara-negara penghasil minyak lainnya yang kondisinya sudah tertekan sebelumnya. Adapun, pemangkasan ini akan berlaku untuk minyak yang digunakan untuk konsumsi domestik dan juga ekspor.
Kebijakan pemangkasan yang diumumkan pada hari Selasa lalu tersebut datang setelah Arab Saudi dan tiga negara lainnya memperbaiki hubungan dengan Qatar sekaligus mengakhiri tensi panas antara keduanya selama tiga tahun terakhir.
Terkait kebijakan tersebut, RBC Capital Markets LLC menyebutkan, kebijakan ini diyakini dilakukan sebagai upaya menigkatkan hubungan baik dengan Amerika Serikat. Sebelumnya, Presiden Terpilih AS, Joe Biden, menyatakan akan mengambil kebijakan yang lebih keras untuk Arab Saudi.
Meski demikian, hal tersebut dibantah oleh Pangeran Abdulaziz. Menurutnya, Arab Saudi dan Amerika Serikat selalu memiliki hubungan yang harmonis.
“Menurut kami, kedua hal tersebut tidak saling berkaitan” tambahnya.
Sementara itu, laporan dari Goldman Sachs Group mengatakan, sebaiknya pelaku pasar tidak terlalu optimistis menanggapi kebijakan tersebut. Pasalnya, hal ini mencerminkan ekspektasi Arab Saudi bahwa permintaan minyak akan semakin melemah.
Hal senada diungkapkan oleh Vice President of Energy Consulting IHS Markit Victor Shum. Ia mengatakan, pemangkasan output yang dilakukan Arab Saudi sama sekali tidak diperkirakan dan menimbulkan efek kejut ke pasar global.
Ia melanjutkan, langkah Arab Saudi akan berimbas pada prospek permintaan minyak dunia yang semakin menantang. Hal ini terjadi seiring dengan lonjakan kasus virus corona yang terjadi di dunia.
“Selain itu, permintaan dari Asia juga akan semakin turun karena tengah memasuki musim pemeliharaan,” jelasnya.
Sementara itu, Analis Capital Futures Wahyu Laksono mengatakan, kebijakan pemotongan output Arab Saudi akan mempertahankan harga minyak dunia di level US$50. Hal tersebut terjadi bersamaan dengan tingkat permintaan minyak dunia yang ditopang oleh beberapa negara di Asia, seperti China dan India.
“Saat ini tingkat permintaan minyak mentah dari China cukup tinggi ditengah pandemi virus corona,” ujarnya.
Selain itu, paket stimulus dari Amerika Serikat yang telah ditandatangani juga akan memicu penguatan harga minyak dunia. Pasalnya, stimulus tersebut akan berimbas pada meningkatnya peredaran uang yang juga berdampak pada permintaan minyak dunia.
“Sepanjang 2021, pasar minyak global diprediksi akan tetap bullish. Peluang harga minyak mencapai level US$60 saat ini masih cukup terbuka,” pungkasnya.