Bisnis.com, JAKARTA - PT Barito Pacific Tbk. berencana untuk memboyong entitas anak usaha Star Energy untuk melantai di Bursa Efek Indonesia. Star Energy adalah perusahaan pembangkit listrik tenaga panas bumi.
Direktur Utama Barito Pacific Agus Pangestu mengatakan potensi Star Energy untuk melepas saham ke publik melalui mekanisme penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) terbuka lebar di masa yang akan datang.
“Kalau sudah cukup besar [Star Energy] akan kita dorong untuk listing, tetapi belum karena masih kecil. [Kapasitas] masih 875 megawatt,” ujar Agus saat Company Update & Outlook dengan Samuel Sekuritas, Rabu (2/12/2020).
Untuk diketahui, Star Energy merupakan perusahaan pengelola panas bumi terbesar di Indonesia dengan total kapasitas 875 megawatt (MW) yang berada di 3 lokasi.
Ketiga aset itu yaitu Wayang Windu di Bandung yang menyediakan power dengan kapasitas 227 MW, Salak di Sukabumi dengan kombinasi stream dan power berkapasitas total 377 MW, dan Darajat di Garut juga kombinasi stream dan power berkapasitas total 271 MW.
Berdasarkan catatan Bisnis, sebelumnya Manajemen Barito Pacific menargetkan kapasitas listrik Star Energy dapat meningkat menuju 1.200 MW.
Baca Juga
Saat ini Star Energy juga memiliki area eksplorasi yang tengah dilakukan yaitu Salak Binary berkapasitas 15 MW, Salak Unit 7 dengan kapasitas 55 MW, dan Wayang Windu Unit 3 berkapasitas 60 MW. Ketiga proyek itu ditargetkan rampung dan beroperasi secara komersial pada 2022 dan 2023.
Selain itu, perseroan juga memiliki dua proyek eksplorasi baru panas bumi yaitu PT Star Energy Suoh Sekincau, Lampung Barat dan PT Star Energy Geothermal Indonesia untuk di Hamiding, Halmahera Utara.
Proyek itu telah menyelesaikan preliminary survey dan berhak untuk match penawaran tender yang terbaik untuk izin pengembangan wilayah kerja.
Di sisi lain, Direktur Barito Pacific David Kosasih melihat adanya tren peningkatan laba dari Star Energy, kendati kontribusi pendapatan cenderung stabil.
Dia menjelaskan bahwa entitas usaha itu secara berkala terus melakukan pembayaran utangnya yang berdampak pada beban bunga yang semakin kecil sehingga mendorong perseroan memiliki peluang untuk mendapatkan pertumbuhan laba tiap tahunnya.
“Di level EBITDA kontribusi Star Energy sekitar 80 persen, sedangkan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. sekitar 20 persen. Memang saat ini Star Energy lebih besar, tetapi ini karena Chandra Asri merupakan industri petrokimia yang memiliki siklus dan kebetulan juga terdampak pandemi Covid-19,” ujar David.
Berdasarkan laporan keuangan perseroan, emiten berkode saham BRPT membukukan laba periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar US$11,29 juta hingga kuartal III/2020.
BRPT berhasil berbalik untung dibandingkan dengan pencapaian hingga kuartal II/2020 yang merugi US$8,88 juta. Kendati demikian, kinerja sembilan bulan pertama tahun ini mencatatkan penurunan 9,46 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar US$12,47 juta.
Adapun, BRPT membukukan pendapatan bersih sebesar US$1,66 miliar hingga September 2020, turun 6 persen secara year on year (yoy) dari US$1,77 miliar pada periode yang sama 2019.
Perolehan itu terdiri atas pendapatan sektor petrokimia sebesar US$1,26 miliar yang turun 8,7 persen yoy dan pendapatan sektor energi sumber daya sebesar US$393,97 juta yang naik 4,2 persen yoy.