Bisnis.com, JAKARTA - Nilai tukar rupiah berhasil melanjutkan tren penguatannya pada perdagangan awal pekan ini.
Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah di pasar spot dibuka menguat 65 poin atau 0,44 persen ke posisi Rp14.670 per dolar AS pada perdagangan Senin (21/9/2020) pukul 09.00 WIB.
Sementara itu, indeks dolar di pasar spot juga bergerak melemah 0,08 persen ke posisi 92,853 dari level pembukaan 92,967.
Pada perdagangan sebelumnya Jumat (18/9/2020) rupiah juga ditutup menguat 97,5 poin atau 0,66 persen ke level Rp14.735 per dolar AS, dari posisi sebelumnya Rp14.832 per dolar AS.
Adapun, rupiah menjadi mata uang dengan persentase penguatan terbesar terhadap dolar AS di antara sekeranjang mata uang Asia.
Nilai tukar rupiah menguat bersama mata uang Asia lainnya seperti Dolar Taiwan yang terpantau menguat 0,39 persen, rupee India naik 0,27 persen, serta dolar Singapura dan Yen Jepang yang masing-masing terapresiasi 0,21 persen hingga pukul 09.12 WIB.
Baca Juga
Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa rupiah memang berpotensi melanjutkan penguatannya meskipun di rentang yang cenderung sempit.
“Dalam perdagangan minggu ini, hari Senin, mata uang Garuda masih akan kembali menguat antara 10-50 poin di kisaran level Rp14.700-Rp14.780 per dolar AS," ujar Ibrahim dikutip Senin (21/9/2020).
Ibrahim menilai pengetatan sosial pada sepekan terakhir sebenarnya tidak terlalu berdampak signifikan terhadap aktivitas keseharian warga Jakarta. Di sisi lain, pemerintah juga menggelontorkan sejumlah stimulus agar konsumsi masyarakat terus berjalan.
“Walaupun kita tahu bahwa ada kemungkinan besar pada kuartal ketiga akan terjadi kontraksi (pertumbuhan ekonomi) tapi pemerintah sudah cukup sigap,” ungkapnya kepada Bisnis.
Menurutnya, langkah pemerintah untuk membentuk badan khusus penanggulangan kasus penyebaran Covid-19 yang diimbangi dengan keputusan bank sentral untuk mempertahankan suku bunga acuan cukup bijak dalam hal menjaga pergerakan rupiah tetap stabil di tengah krisis ekonomi global.
Kendati demikian, Ibrahim menilai pelemahan daya beli masyarakat mengakibatkan uang yang beredar saat ini masih kecil dibandingkan dengan periode sebelum pandemi.