Bisnis.com, JAKARTA - Organisasi Negara Eksportir Minyak atau Organization of Petroleum Exporting Countries, OPEC, dan sekutunya sepakat untuk melonggarkan kebijakan pemangkasan produksinya seiring dengan permintaan yang diyakini mulai pulih.
Koalisi 23 negara yang dipimpin oleh Arab Saudi dan Rusia itu akan menambahkan masing-masing sekitar 1 juta barel per hari dari kapasitas produksinya. Penambahan tersebut akan dimulai pada Agustus.
Dengan demikian, secara kumulatif aliansi itu akan memangkas masing-masing sekitar 7,7 juta barel per hari pada Agustus, setelah memangkas produksi sekitar 10 juta barel per hari selama tiga bulan berturut-turut untuk menstabilkan pasar dan mendukung harga minyak.
Arab Saudi dan Rusia secara terbuka mendukung langkah itu, dan para menteri negara lain yang berpartisipasi dalam konferensi online yang diselenggarakan pada Rabu (15/7/2020) setuju secara prinsip.
Adapun, peningkatan produksi itu akan diimbangi oleh produksi anggota OPEC yang tidak memenuhi komitmennya untuk mengurangi output pada Mei dan Juni, seperti Irak dan Nigeria.
Kedua negara itu akan menebus kekurangan pemangkasan produksinya sebesar 842.000 barel per hari yang akan dilakukan pada Agustus dan September.
Baca Juga
Menteri Energi Arab Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman mengatakan bahwa penambahan produksi itu telah disepakati karena pihaknya melihat terdapat kenaikan permintaan yang mulai pulih dari pandemi Covid-19.
“Hampir seluruh ekonomi di dunia saat ini sudah dibuka, meskipun proses ini dunia masih harus berhati-hati dan dilakukan secara bertahap. Namun, tanda-tanda pemulihan memang benar ada,” ujar Pangeran Abdulaziz bin Salman seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (16/7/2020).
Dia yakin, peningkatan produksi ini tidak akan mempengaruhi reli minyak yang sudah mulai pulih ke level US$41 per barel dan menilai dampaknya bahkan hampir tidak akan terasa.
Senada, Menteri Energi Rusia Alexander Novak mengatakan bahwa pemangkasan produksi akan sejalan dengan tren pasar saat ini sehingga seharusnya tidak akan berpengaruh negatif terhadap harga minyak saat ini.
“Hampir semua kenaikan produksi itu akan dikonsumsi oleh pasar domestik negara-negara produsen karena permintaan berangsur pulih,” ujar Novak.
Untuk diketahui, kesepakatan pemangkasan produksi oleh OPEC dan sekutunya pada April lalu merupakan salah satu perjanjian internasional bersejarah karena hampir disetujui oleh seluruh anggota dan dengan jumlah pemangkasan yang cukup jumbo.
Hal itu untuk memulihkan harga minyak yang anjlok ke area negatif pada April lalu, level terendah sepanjang sejarah akibat perang harga minyak Arab Saudi dan Rusia yang terjadi di tengah pandemi Covid-19 yang melemahkan pertumbuhan ekonomi global.
Namun, kenyataannya harga minyak saat ini justru berbalik melemah setelah melonjak tajam 2,3 persen pada perdagangan Rabu (15/7/2020) dan kembali diperdagangkan di bawah US$41 per barel.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Kamis (16/7/2020) hingga pukul 13,45 WIB, harga minyak jenis WTI untuk kontrak Agustus 2020 di bursa WTI bergerak melemah 0,95 persen ke level US$40,81 per barel.
Sementara itu, harga minyak jenis Brent untuk kontrak September 2020 di bursa ICE melemah 0,73 persen ke level US$43,47 per barel. Sepanjang tahun berjalan 2020, harga minyak telah bergerak 33,15 persen.
Kepala Riset dan Edukasi Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan bahwa niat OPEC dan sekutunya itu justru dapat memberikan tekanan ke harga minyak mentah karena terjadi di saat ekonomi masih dipenuhi ketidakpastian yang bisa kembali menekan permintaan.
“Apalagi kalau permintaan minyak mentah tidak pulih secara gradual seperti ekspektasi semula,” ujar Ariston kepada Bisnis, Kamis (16/7/2020).
Pandemi Covid-19 masih belum menunjukkan sinyal mereda, dan kekhawatiran pasar terjadinya penyebaran gelombang kedua pun masih cukup tinggi sehingga harga minyak masih cukup rentan.
Selain itu, data minyak AS dari Energy Information Association (EIA) yang menunjukkan penurunan stok belum sepenuhnya akan mendukung harga minyak.
Ariston menjelaskan bahwa penurunan stok itu sesungguhnya berpotensi meningkatkan permintaan, tapi masih belum stabil karena penurunan stok belum konsisten dari minggu ke minggu.
Dia memproyeksi dalam jangka pendek harga minyak WTI masih bergerak di bawah US$41 per barel.
Lebih rinci, harga minyak berpotensi bergerak turun menguji support US$40,45 per barel, dan jika penurunan menembus level itu berpeluang menekan harga minyak menguji level support berikutnya US$40 per barel dan US$39,70 per barel.
Senada, Founder Vanda Insight Singapura Vandana Hari mengatakan bahwa penurunan persediaan minyak mentah AS sesungguhnya telah membantu sentimen harga.
Namun, permintaan diesel, yang merupakan penentu arah ekonomi di AS, belum pulih sama sekali
“Pasar tampaknya memiliki bias optimisme, yang bisa saja disebabkan oleh kelelahan dengan malapetaka dan kesuraman selama enam bulan terakhir,” ujar Hari.