Bisnis.com, JAKARTA - Mantan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia periode 2015–2018, Tito Sulistio, berharap agar industri pasar modal mampu melewati permasalahan yang mendera saat ini.
Dalam akun instagramnya, Tito menyampilkan dua foto yang berisi doa dan harapan, agar industri pasar modal mampu menghadapi problem yang mendera. Problem tersebut menerpa harga saham, investor, pelaku pasar, bahkan regulator dan otoritas.
"Ya Allah ya Tuhan kami. Saat ini industri pasar modal Indonesia sedang dalam cobaan berat. Engkau nyalakan api meluluhlantakan harga saham. Angin kencang Engkau tiupkan mengkocarkacirkan para pemodal," ujar Tito.
Menurut Tito, industri pasar modal selalu menjadi sinyal perekonomian nasional. Namun, saat ini industri pasar modal justru penuh ketidakpastian.
Hal tersebut berdampak sistemik ke tata kelola industri finansial lainnya, baik perbankan maupun asuransi, yang pada akhirnya bisa melemahkan daya beli masyarakat.
Baca Juga
"Ya Allah, kami memohon tunjukkan jalannya, bukalah arahnya, dinginkan apinya, kurangi goyang gempanya, agar kami para pelaku dan pengatur di pasar modal mampu melewati cobaan ini," imbuhnya.
Dia pun berharap agar industri pasar modal bisa bergerak ke atas memberi sinyal positif ke perekonomian nasional, agar Indonesia dapat menjadi negeri yang gemah ripah loh jinawi.
4 BULAN CORONA
Sementara itu, krisis kesehatan yang dipicu oleh penyebaran pandemi Covid-19 telah membuat laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergejolak dalam 4 bulan terakhir.
Dalam 4 bulan penyebaran Covid-19 di dalam negeri, IHSG tercatat turun 7,36 persen dari level 5.361,246 menjadi 4.996,78. Kapitalisasi pasar juga telah menguap dari sekitar Rp6.359 triliun pada pekan pertama Maret 2020 menjadi Rp5.769.648 triliun akhir sesi Kamis (2/7/2020).
Pemerintah resmi mengumumkan kasus pertama infeksi virus corona atau Covid-19 ke Indonesia pada 2 Maret 2020. Virus yang muncul pertama kali di China pada Desember 2019 itu pun turut membuat kinerja pasar saham dalam negeri luluh lantak.
Semula, investor masih merespons dingin konfirmasi kasus positif Covid-19 yang diumumkan oleh Presiden Joko Widodo. Indeks harga saham gabungan (IHSG) hanya terkoreksi tipis 1,68 persen sesi Senin (2/3/2020).
IHSG sempat memberikan optimisme dengan rebound dua hari berturut-turut pada Selasa (3/3/2020) dan Rabu (4/3/2020). Kepanikan pelaku pasar muncul lima hari berselang.
Laju indeks amblas 6,58 persen ke level 5.136,809 pada Senin (9/3/2020). Bursa Efek Indonesia (BEI) pun merespons dengan mengeluarkan kebijakan asimetris auto rejection mulai Selasa (10/3/2020).
Dalam kebijakan itu, harga saham hanya bisa turun 10 persen dalam satu hari. Artinya, bila terjadi penurunan menyentuh 10 persen, akan terkena auto rejection bawah (ARB).
Hari berikutnya Rabu (11/3/2020), Otoritas Bursa pun memberlakukan trading halt atau penghentian sementara perdagangan apabila IHSG terkoreksi 5 persen. Sampai dengan 23 Maret 2020, setidaknya pasar modal Indonesia mengalami lima kali trading halt.
Batasan ARB pun kembali diturunkan oleh BEI. Bursa telah menerapkan ketentuan terbaru sebesar 7 persen terhitung mulai dari 13 Maret 2020. Namun, lagi-lagi kebijakan itu tidak mampu membendung kepanikan pelaku pasar.
Koreksi sebesar 4,42 persen pada 23 Maret 2020 membuat IHSG harus meninggalkan level 4.000 dan parkir di 3.989. Indeks baru bangkit tiga hari kemudian dengan menguat signifikan 10,19 persen ke level 4.338,909.
Sejak itu, IHSG bergerak fluktuatif. Sejumlah sentimen positif melecut laju indeks meski tidak jarang investor kembali dibuat cemas oleh Covid-19.
Dorongan terbesar terjadi jelang pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah daerah. IHSG sempat mengalami reli ditambah katalis dari mulai dilakukan pelonggaran lockdown oleh sejumlah negara.
Pelonggaran PSBB dan lockdown memberi angin segar untuk pelaku pasar. Langkah itu diharapkan kembali menghidupkan mesin perekonomian yang mati dalam beberapa bulan sebelumnya.
Apalagi, pemerintah dan bank sentral di berbagai negara, tidak terkecuali Indonesia, menunjukkan dukungan total untuk mengucurkan stimulus baik fiskal maupun moneter untuk menjaga perekonomian.
Namun, belakangan laju IHSG kembali terseok-seok. Proyeksi berbagai lembaga terkait kontraksi pertumbuhan ekonomi dan kecemasan penyebaran gelombang kedua Covid-19 jadi pemicu.
Selain itu, investor juga mulai menghitung kembali realisasi kinerja emiten kuartal II/2020 yang diperkirakan akan mulai terdampak oleh penyebaran Covid-19. Angka penambahan kasus baru Corona di dalam negeri pun masih belum menunjukkan penurunan.