Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BUMN Jor-joran Cetak Surat Utang Valas. Ada Apa ya?

BUMN gencar menggalang dana dengan menerbitkan surat utang global menjadi indikasi likuiditas penyedia pinjaman di dalam negeri cukup ketat.
GEDUNG BUMN HUTAMA KARYA. Bisnis/Arief Hermawan P
GEDUNG BUMN HUTAMA KARYA. Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA - Jor-joran. Kata itu cukup untuk menggambarkan aksi korporasi dari sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) dalam menggalang pendanaan. Sedikitnya empat BUMN akan dan sudah merilis surat utang dalam denominasi asing senilai US$6,5 miliar.

Jumlah tersebut hampir separuh dari emisi obligasi dari pemerintah Indonesia dan korporasi asal Indonesia senilai US$15 miliar yang tercatat hingga pekan kedua Mei 2020. Dengan asumsi kurs Rp15.000, BUMN menarik dana asing sebesar Rp95 triliun, angka yang tidak kecil.

Berdasarkan data yang dihimpun Bisnis, empat BUMN yang menerbitkan surat utang dalam denominasi valas adalah PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum, PT Hutama Karya (Persero), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk., dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.

Inalum menerbitkan obligasi global sebesar US$2,5 miliar sedangka Hutama Karya menggalang US$600 juta. Adapun Bank Mandiri dan BNI masing-masing menerbitkan medium term notes senilai US$1,25 miliar dan US$2 miliar.

Dari keempat BUMN itu, hanya Hutama Karya yang berniat menggunakan dana hasil penerbitan obligasi untuk ekspansi. Sementara tiga perusahaan pelat merah lainnya mencari utangan untuk melunasi utang lama atau refinancing.

Direktur Utama Hutama Karya Bintang Perbowo mengatakan pihaknya sudah memperhitungkan secara matang aksi penghimpunan dana lewat penerbitans surat utang. Dia menyebut, surat utang yang diterbitkan digunakan untuk untuk memenuhi kebutuhan belanja modal perseroan, salah satunya untuk penyelesaian proyek Jalan Tol Trans Sumatra (JTTS).

Secara total, proyek strategis nasional (PSN) ini membutuhkan total dana sekitar Rp280 triliun. Dana Rp9 triliun yang didapatkan akan seluruhnya digunakan untuk kebutuhan tersebut. Adapun, kebutuhan belanja modal Hutama Karya tahun ini mencapai Rp24 triliun.

“Kami totalnya memang US$1,5 miliar, tapi yang pertama ini US$600 juta dulu, semua itu kami memperhitungkan rasio-rasio keuangan perusahaan, sehingga kita tidak terjebak kepada besarnya kewajiban di depan,” katanya melalui konferensi video, Selasa (5/5/2020).

Surat utang yang diterbitkan Hutama Karya bertenor sepuluh tahun dengan tingkat bunga 3,75 persen per tahun. Pada saat penawaran, jumlah permintaan mencapai 5,8 kali sehingga minat investor asing cukup tinggi.

Selain Hutama Karya, Inalum juga mencatat kelebihan permintaan sebanyak 6,4 kali. Inalum menerbitkan tiga seri obligasi senilai US$2,5 miliar untuk pelunasan obligasi jatuh tempo 2021 dan 2023. Dana hasil penerbitan obligais juga akan dipakai untuk mengakuisisi 20 persen saham PT Vale Indonesia Tbk.

Direktur Utama MIND ID Orias Petrus Moedak mengatakan animo investor cukup tertinggi bila melihat angka oversubscribed mencapai 6,4 kali. “Hal ini membuktikan kalau investor masih percaya terhadap kemampuan kami dalam mengelola portofolio pembiayaan dan menjaga likuiditas,” ujarnya dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (15/4/2020).

Dengan jumlah utang yang jumbo, apakah perbankan di dalam negeri tidak mampu menyediakan likuditas yang besar sesama BUMN?

Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia Toto Pranoto menilai penerbitan surat utang global menjadi indikasi
kondisi likuiditas lembaga keuangan di dalam negeri cukup ketat. Terlebih, proyek yang dikerjakan Hutama Karya dan Inalum, misalnya memiliki durasi pengembalian pinjaman yang panjang.

“Pendanaan di dalam negeri tidak akan mencukupi kebutuhan-kebutuhan tersebut, sehingga global bond menjadi alternatif,” ujarnya.

Toto menilai, penggalangan dana dalan denominasi valas akan positig sepanjang menciptakan lindung nilai secara natural. Namun, bila terjadi sebaliknya, obligor akan menghadapi risiko kurs.

Dia mewanti, aksi penggalangan dana dalam bentuk surat utang global bisa mengerek risiko kredit karena akumulasi utang BUMN yang kian menjulang.

Selain itu, ada pula risiko dari kemungkinan pengelolaan yang buruk di BUMN dalam menghadapi risiko utang valas tersebut. Hal ini menurutnya sangat mungkin terjadi mengingat mayoritas pendapatan BUMN diterima dalam denominasi rupiah, sementara utangnya dalam dolar AS.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper