Bisnis.com, JAKARTA - Awan gelap diprediksi masih menyelimuti pasar minyak mentah global pada kuartal II/2020. Harga minyak rawan tergelincir karena pandemi virus corona (Covid-19) terus menyurutkan permintaan di tengah kebijakan produsen memangkas produksi.
Dalam laporan terbarunya, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak atau Organization Petroleum Exportirs Countries (OPEC) memangkas perkiraan permintaan minyak untuk kuartal kedua tahun ini menjadi 81,3 juta barel per hari.
Jumlah itu lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan bulan lalu sebanyak 86,7 juta barel per hari. Tak ayal, proyeksi permintaan minyak mentah setahun penuh hanya 90,59 juta barel per hari, lebih rendah 2,23 juta barel dari perkiraan OPEC pada bulan lalu.
Lockdown dan pembatasan fisik yang bertujuan untuk menahan penyebaran Covid-19 menjadi faktor utama karena mengurangi permintaan bahan bakar, baik untuk kendaraan maupun penerbangan di Amerika Serikat, Eropa, dan India.
Prospek yang lebih gelap itu muncul bersamaan dengan rencana tiga pengekspor utama yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Kuwait, untuk memperbesar pemangkasan produksi yang telah disepakati sebelumnya.
Untuk diketahui, OPEC dan sekutunya, termasuk kemitraan 23 negara yang mencakup non-anggota seperti Rusia dan Kazakhstan, telah sepakat untuk memangkas produksi minyak sebesar 9,7 juta barel per hari yang akan dimulai pada bulan ini.
Baca Juga
Adapun, Arab Saudi mengatakan akan memangkas 1 juta barel per hari tambahan dari total produksi sebelumnya yang akan dimulai Juni 2020. Keputusan itu pun akan membawa tingkat produksi minyak Arab Saudi ke level terendahnya sejak 2002.
"Pemangkasan tambahan baru-baru ini telah diumumkan oleh beberapa anggota OPEC, komitmen pemangkasan sukarela mereka diharapkan dapat mempercepat penyeimbangan pasar untuk menopang harga," kata sekretariat OPEC dalam laporannya, dikutip Kamis (14/5/2020).
Pasalnya, meskipun pemangkasan produksi telah dilakukan, surplus pasokan yang signifikan dinilai akan tetap terjadi pada kuartal ini akibat proyeksi permintaan tersebut.
OPEC melihat permintaan untuk minyak mentahnya hanya sebesar 16,77 juta barel per hari sepanjang kuartal kedua ini atau kira-kira 6,5 juta kurang dari apa yang dipompa anggotanya dengan memberlakukan penuh kesepakatan pemangkasan itu.
Setelah menghasilkan rata-rata 30,41 juta barel per hari pada April, output dari 13 anggota OPEC setidaknya perlu turun sekitar 7 juta per hari pada bulan ini untuk menyesuaikan dengan target baru mereka.
Di sisi lain, harga minyak telah berhasil berangsur naik dalam beberapa pekan terakhir walaupun masih 40 persen dibandingkan dengan posisi Maret 2020.
Berdasarkan data Bloomberg, pada kuartal pertama tahun ini harga minyak melemah 66,8 persen, sedangkan secara year to date terkoreksi 57,34 persen, Pada medio April, untuk pertama kalinya dalam sejarah minyak, harga minyak jenis WTI parkir di area negatif yaitu di level -US$37,63 per barel.
Pada perdagangan Kamis (14/5/2020) harga minyak jenis WTI untuk kontrak Juni 2020 di bursa New York bergerak menguat 4,56 persen ke level US$26,45 per barel. Adapun sedangkan harga minyak jenis Brent untuk kontrak Juni 2020 di bursa ICE naik 3,84 persen ke level US$30,31 per barel.
Pada pekan ini minyak telah berayun di antara keuntungan dan kerugian karena pasar bergulat dengan pemulihan permintaan dan kekhawatiran pasar terhadap gelombang kedua pandemi Covid-19 yang dapat menggagalkan pemulihan ekonomi.
Namun, Arab Saudi dan mitra kunci non-OPEC lainnya, Rusia, mengatakan dalam sebuah pernyataan bersama belum lama ini bahwa kedua negara itu optimistis dan telah melihat sinyal pertumbuhan permintaan minyak serta indikator pasar lainya berangsur membaik karena beberapa negara telah melonggarkan kebijakan lockdown.
Kepala Riset dan Edukasi Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan bahwa dalam beberapa perdagangan terakhir harga minyak mentah berhasil terdorong naik karena potensi dibukanya perekonomian beberapa negara. Harga minyak juga terkerek berkat adanya pemangkasan produksi yang mulai dijalankan pada Mei.
Sepanjang kuartal kedua tahun ini pun, harga minyak akan cenderung menguat dengan potensi mendekati US$29 per barel masih terbuka cukup lebar.
“Namun, karena wabah belum selesai dan masih banyak yang terjangkit, dan ekonomi belum beraktivitas secara normal, harga minyak masih berpotensi mendapatkan tekanan lagi,” ujar Ariston kepada Bisnis, Kamis (14/5/2020).
Sementara itu, Warren Patterson, Kepala Strategi Komoditas ING Bank NV di Singapura, mengatakan pasar minyak masih dalam lingkungan surplus meskipun terdapat pemulihan bertahap dalam permintaan dan adanya pemotongan pasokan pada akhirnya,
“Pasar telah bergerak jauh lebih tinggi sejak akhir April, dan saya pikir kekuatan itu tidak akan berkelanjutan dalam waktu dekat,” ujar Warren dikutip dari Bloomberg.