Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Emiten Tetap Pede Emisi Obligasi di Tengah Pandemi

Emiten yang berencana menerbitkan obligasi dinilai memiliki peringkat yang baik dan sangat baik. Sebagian besar bakal menggunaka dana hasil penerbitan surat utang untuk melunasi utang lama.
Ilustrasi OBLIGASI. Bisnis/Abdullah Azzam
Ilustrasi OBLIGASI. Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA — Silakan memberikan aplaus kepada para perusahaan yang menerbitkan obligasi di masa pandemi. Tepuk tangan itu tidak berlebihan karena emisi surat utang di saat lembaga pemeringkat mewanti peningkatan risiko gagal bayar, tentu saja langkah berani.

Berdasarkan data yang dihimpun Bisnis, sejumlah emiten mulai menawarkan surat utang, terutama dalam bentuk obligasi. Emisi dilakukan dengan tujuan menarik dana segar untuk membayar utang alias refinancing ; melunasi uang lama dengan utang baru.

Mengacu pada data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), setidaknya selama April 2020 ada lima pendaftaran emisi obligasi berkelanjutan. Beberapa emiten mulai menayangkan prospektus untuk menawarkan obligasinya.

Seperti yang paling anyar adalah prospektus penawaran umum obligasi berkelanjutan dari PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk. (INKP) dan PT Bali Towerindo Sentra Tbk. (BALI) dengan masing-masing jumlah pokok obligasi sebanyak-banyaknya Rp3 triliun dan Rp800 miliar.

Analis Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Roby Rushandie menyebut kendati ada sejumlah korporasi yang mulai menerbitkan obligasi, kemungkinan besar tahun ini jumlahnya akan lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya.

Dia menyebut korporasi yang menerbitkan surat utang memang akan lebih banyak untuk tujuan refinancing dan bukan untuk ekspansi. Sebab, kondisi saat ini akan memaksa perusahaan untuk menahan diri. 

“Kecil kemungkinan korporasi untuk ekspansi,” katanya kepada Bisnis, Kamis (30/4/2020)

Perusahaan yang menerbitkan obligasi juga akan menghadapi situasi yang lebih menantang, karena yield acuan saat ini masih relatif tinggi sehingga akan berdampak pada cost of fund penerbit. Sebagai catatan, berdasarkan data asianbondsonline.com per 29 April 2020, yield obligasi bertenor 10 tahun adalah 8,0 persen.

Sementara dari sisi permintaan, Roby menilai investor institusi masih menghindari aset berisiko dan cenderung memegang cash, apalagi belakangan ini terdapat penundaan pembayaran bunga maupun pokok surat utang jangka menengah atau medium term notes.

“Bahkan [itu terjadi pada] emiten BUMN [Badan Usaha Milik Negara]. Jadi hal ini membuat investor akan sangat berhati-hati,” imbuhnya.

Dihubungi terpisah, Head of Economic Research Pefindo Fikri C. Permana mengatakan tingkat gagal bayar atas surat utang yang diterbitkan pada periode 2020 masih akan terjaga dengan baik. Namun dia juga tidak memungkiri tantangan terhadap surat utang korporasi meningkat, khususnya dari sisi arus kas mereka.

Fikri berpendapat, emiten-emiten yang sejauh ini berani menerbitkan obligasi korporasi merupakan emiten yang masuk dalam kategori investment grade. Hal tersebut tercermin oleh peringkat emiten penerbit surat utang korporasi. Berdasarkan nilainya, hampir 75 persen di antaranya merupakan emiten dengan rating terbaik 

“Bahkan sangat baik, yakni AAA dan AA,” ujar Fikri awal pekan ini. 

Di saat yang sama, tambahnya, pihaknya juga telah melakukan perhitungan secara kumulatif dari 2008 hingga 2020 tahun berjalan, bahwa tingkat gagal bayar dari surat utang yang diperingkat oleh Pefindo berdasarkan nilai hanya sebesar 0,8 persen. 

Saat ini yield acuan memang naik dibandingkan kondisi akhir 2019 lalu. Namun, jika disandingkan dengan beberapa pilihan lain sebagai sumber pendanaan emiten,  biaya dana (cost of fund) surat utang korporasi masih cukup kompetitif.

“Jadi ya, kembali lagi ke emitennya. Kebutuhan, akses, dan kemampuan cashflow mereka seperti apa,” tutur Fikri.

Sementara untuk penyerapan surat utang korporasi, dia menilai potensinya masih cukup baik karena sejauh ini likuiditas domestik juga terpantau masih positif.

Sebagaimana diketahui, sejumlah lembaga pemeringkat sebelumnya merilis laporan terkait peningkatan risiko kredit dari obligor akibat dampak langsung dari pandemi virus corona (Covid-19).

Fitch Ratings misalnya melansir lebih dari separuh perusahaan Indonesia yang dianalisis lembaga pemeringkat masuk ke dalam kategori lebih rentan terhadap Covid-19.

Berdasarkan laporan yang dikutip, Senin (27/4/2020), Fitch Ratings menganalisis dampak Covid-19 terhadap 51 perusahaan berperingkat Indonesia baik berskala internasional maupun internasional yang masuk ke dalam portofolio. 

Fokus dari kajian itu yakni terhadap kerentanan sektor usaha, rating headroom, dan kerentanan perusahaan terhadap nilai tukar.

Hasilnya, sebanyak 28 perusahaan atau 55 persen dari total perusahaan yang dianalisis masuk ke dalam kategori perusahan yang lebih rentan terhadap Covid-19. 

Moody’s Investor Service juga memperkirakan tingkat risiko gagal bayar (default risk) perusahaan-perusahaan nonfinansial di Asia Pasifik akan meningkat pada 2020, seiring dengan dampak pandemi virus corona (Covid-19) yang membebani kualitas kredit.

Di antara negara Asia Pasifik, perusahaan-perusahaan di Cina, India dan Indonesia dengan tingkat utang tinggi atau akses likuiditas yang lemah disebut lebih rentan terhadap risiko gagal bayar di tengah lingkungan ekonomi yang menantang seperti saat ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Rivki Maulana
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper