Tunda Pembayaran MTN, Begini Penjelasan Perum Perumnas
Bisnis.com, JAKARTA – Perum Perumnas menunda pembayaran pokok surat utang medium term notes (MTN) sebagai bagian dari upaya untuk menjaga kehati-hatian di tengah pandemi Covid-19. Pandemi diakui telah memberikan dampak signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan.
Penundaan pembayaran dilakukan kepada pemegang MTN I Perum Perumnas Tahun 2017 Seri A. Surat utang dengan pokok Rp200 miliar ini telah jatuh tempo pada 28 April 2020.
Direktur Keuangan Perum Perumnas Eko Yuliantoro menyatakan bahwa penundaan itu diambil setelah kinerja keuangan perseroan terhantam wabah Covid-19. Hal ini berdampak pada arus kas perseroan yang memburuk setelah virus ini merebak selama lebih kurang 6 pekan terakhir.
“Makanya kami harus menjaga kondisi keuangan, akhirnya kami memutuskan untuk melakukan penundaan pembayaran. Nanti, kalau kondisinya sudah membaik, pasti kami akan selesaikan,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (29/4/2020).
Dia menjelaskan sebelum adanya Covid-19, atau hingga sekitar Februari 2020, perseroan masih dapat melakukan pembayaran pokok MTN yang jatuh tempo. Namun, setelah pandemi Covid-19 merambat di Indonesia, kondisi mulai berubah secara signifikan.
Baca Juga
Menurutnya, kebijakan yang diambil pemerintah terkait penanganan Covid-19 seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memberi dampak signifikan terhadap segmen konsumen utama, yakni masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dalam kondisi ini, daya beli dan minat konsumen untuk melakukan pembelian hunian kian susut.
Hal ini kian dipersulit dengan kondisi perbankan yang ikut menahan laju penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR) kepada masyarakat di segmen tersebut. Alhasil, arus kas perseroan harus tertekan cukup berat dalam beberapa pekan terakhir.
“Mereka [MBR] untuk makan saja susahnya setengah mati, masa mereka bisa pikirkan rumah, dalam kondisi seperti ini siapa yang bisa pikirkan beli rumah? Akhirnya cashflow kami drop, karena tadi itu, dan juga karena ketersediaan KPR, bank-bank mulai menahan diri,” jelasnya.
Dia mengatakan pihaknya tengah mengkaji sejumlah opsi bersama pemerintah. Namun, dia tidak bisa memastikan sampai kapan pembayaran MTN ini akan ditunda. Menurutnya, hal ini akan bergantung pada seberapa lama Covid-19 terus menyebar di Indonesia.
Eko menyatakan bahwa sejauh ini perseroan lebih mengedepankan strategi jangka pendek di tengah pandemi Covid-19. Perumnas belum menentukan langkah lanjutan untuk sejumlah MTN lain yang juga akan jatuh tempo pada tahun ini.
“Ketidakpastiannya kan besar dalam hal posisi seperti ini, ya kita mengambil keputusan tersebut untuk berhati-hati. Misalnya, pada Mei bisnis kembali normal ya kita bayar. Konsekuensinya [penundaan] seperti apa, ya kita akan bicarakan dengan investor, kami adjust,” katanya.
Perum Perumnas tercatat masih memiliki tiga MTN lain yang akan jatuh tempo pada tahun ini dengan total nilai pokok mencapai Rp600 miliar. MTN ini terdiri dari MTN VII Perum Perumnas Tahun 2019 Seri A senilai Rp175 miliar yang jatuh tempo pada 8 Juli 2020 dan Seri B senilai Rp75 miliar.
Selanjutnya MTN XI Perum Perumnas Tahun 2019 Seri A (Rp150 miliar/18 November 2020), dan MTN XI Perum Perumnas Tahun 2019 Seri B (Rp200 miliar/30 November 2020).
Berdasarkan laman resmi Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), per 2018 Perum Perumnas memiliki total aset senilai Rp10,12 triliun dan liabilitas Rp6,62 triliun. Pada periode tersebut, perusahaan mampu mencetak pendapatan sebesar Rp2,66 triliun dan laba bersih Rp302 miliar.
Sebelumnya, PT Pemeringkat Efek Indonesia (Perindo) juga telah menurunkan peringkat MTN I Perum Perumnas Tahun 2017 Seri A menjadi D dari BBB+ akibat kegagalan perusahaan membayar pokok.
Melalui keterangan resminya, Pefindo juga menurunkan peringkat Perum Perumnas dari BBB+ menjadi SD. MTN lain seperti MTN II/2016, MTN III/2016, MTN IV/2016, MTN I/2017 Serie B, MTN III/2018, MTN III/2019, MTN I/2019, MTN IV/2019, MTN V/2019, MTN VI/2019, MTN VIII/2019, dan MTN IX/2019 juga mengalami penurunan peringkat dari BBB+ menjadi CCC.
“Kegiatan operasional dan penjualan perusahaan pada 2020 berada dalam penurunan, sejalan dengan perlambatan aktivitas dan pertumbuhan ekonomi akibat penyebaran pandemi Covid-19,” tulis Pefindo.
Pefindo menjelaskan peringkat SD atau Selective Default disematkan pada obligor yang gagal membayar satu atau lebih surat utangnya, namun masih berpotensi dapat melunasi obligasi lainnya tepat waktu.