Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Punya Utang Bank Menumpuk, Garuda (GIAA) Kaji Sejumlah Opsi

Garuda Indonesia dihadapkan pada utang jangka pendek yang sedikit. Utang dari perbankan dalam jangka pendek per akhir 2019 lalu mencapai US$US$984,85 juta. Garuda sudah memulai pembahasan awal dengan kreditur terkait restrukturisasi pinjaman.
Pesawat Airbus A330-900neo milik Garuda Indonesia di Hanggar 2 GMF AeroAsia, Rabu (27/11/2019) malam./Bisnis-Rio Sandy Pradana
Pesawat Airbus A330-900neo milik Garuda Indonesia di Hanggar 2 GMF AeroAsia, Rabu (27/11/2019) malam./Bisnis-Rio Sandy Pradana

Bisnis.com, JAKARTA - Dua kreditur PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. menyatakan restrukturisasi utang Garuda masih dalam tahap pembahasan. Pembicaraan terkait utang belum mengerucut pada bentuk restrukturisasi yang akan ditempuh.

Direktur Hubungan Kelembagaan dan BUMN PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Agus Noorsanto menyatakan saat ini pihaknya masih menggelar pembicaraan lebih lanjut dengan Garuda Indonesia. Namun, dia masih enggan merinci apakah kredit tersebut akan direstrukturisasi lewat perpanjangan tenor atau keringanan bunga dan pokok.

“Intinya sudah ada pembicaraan dengan BRI dan tidak ada yang di-waiver ya. Masih proses,” katanya kepada Bisnis, awal pekan ini. 

BRI merupakan kreditur dari kalangan perbankan dengan total pinjaman terbesar kepada Garuda, yaitu US$218,7 juta. Kredit ini terbagi dalam kredit kepada perseroan secara langsung maupun ke anak usaha.

PT Bank Mandiri (Persero) TBk. juga menjadi bank pelat merah lain dengan total pinjaman terbesar kedua kepada Garuda Indonesia. Per akhir Desember 2019, nilainya mencapai US$180,49 juta, naik dari posisi akhir 2018 sebesar US$135,69 juta.

Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rully Setiawan menerangkan pihaknya memahami kondisi sang debitur yang tengah kesulitan saat ini. Sejauh ini, pihaknya masih terus berkomunikasi dengan Garuda Indonesia terkait pinjaman tersebut.

Garuda Indonesia memang terdampak dengan kondisi Covid-19 ini, karena banyak rute yang tidak beroperasi. Kami terus memantau dan berkomunikasi dengan manajemen Garuda Indonesia,” jelasnya kepada Bisnis, awal pekan ini.

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menegaskan pihaknya masih mengkaji sejumlah opsi untuk pembayaran utang jangka pendek, baik pinjaman bank maupun utang obligasi. Menurutnya, sejauh ini semua opsi masih terbuka.

“Semua opsi masih kami buka peluang diskusinya, [opsinya] kan biasa, bisa pelunasan maupun perpanjangan. Sama saja [untuk pinjaman bank dan obligasi],” ujarnya kepada Bisnis, awal pekan ini. 

Untuk diketahui, emiten berkode saham GIAA ini memiliki liabilitas jangka pendek yang cukup besar per akhir 2019, totalnya mencapai US$3,25 miliar. Kewajiban jangka pendek itu mendominasi total liabilitas perseroan yang mencapai US$3,73 miliar.

Dari jumlah tersebut, sebanyak US$984,85 juta di antaranya merupakan pinjaman bank. Pinjaman ini terdiri dari pinjaman bank terafiliasi sebanyak US$540,09 juta dan US$444,75 juta kepada bank pihak ketiga.

Mengutip laporan keuangan 2019, maskapai pelat merah ini memiliki total pinjaman senilai US$1,83 miliar, dan pinjaman bersih senilai US$1,53 miliar. Sementara itu, ekuitas perseran mencapai US$720,62 juta. Dengan demikian posisi debt to equity (DER) perseroan mencapai 2,55 kali, dan net debt to equity ratio perseroan mencapai 214 persen. 

Kepala Riset PT Samuel Sekuritas Indonesia Suria Dharma menyatakan bahwa restrukturisasi menjadi salah satu cara paling realistis untuk menyelesaikan persoalan keuangan Garuda Indonesia. Bank-bank BUMN diperkirakan akan menjadi pemain penting dalam hal ini.

Di sisi lain, utang obligasi perseroan menurutnya memiliki risiko lebih tinggi. Pasalnya, saat ini skema yang memungkinkan untuk menyelesaikan utang itu hanyalah refinancing atau membayar lewat penerbitan surat utang kembali.

Masalahnya, penerbitan obligasi di situasi seperti ini dinilai tidak akan mudah bagi Garuda Indonesia. Dia memperkirakan penerbitan surat utang baru akan dikenakan beban bunga lebih tinggi seiring dengan risiko perusahaan yang meningkat.

“Tentunya, kalau resiko perusahaan meningkat, bunga yang ditawarkan mungkin mesti lebih tinggi dari rata-rata industri lain. Mencari pembelinya juga mungkin lebih sulit di situasi seperti ini, apalagi kalau likuiditas dolar AS sedang ketat,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Rivki Maulana
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper