Bisnis.com, JAKARTA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil memperpanjang relinya pada akhir perdagangan hari ketiga beruntun, Selasa (15/10/2019), meskipun sepanjang hari bergerak fluktuatif.
Berdasarkan data Bloomberg, IHSG ditutup di level 6.158,17 dengan penguatan 0,51 persen atau 31,29 poin dari level penutupan perdagangan sebelumnya.
Pada perdagangan Senin (14/10), IHSG berakhir di level 6.126,88 dengan kenaikan 0,35 persen atau 21,08 poin, penguatan hari kedua berturut-turut.
Pergerakan indeks terpantau sempat beberapa kali tergelincir ke zona merah setelah dibuka naik tipis 0,06 persen atau 3,42 poin di level 6.130,30 pada Selasa pagi.
Namun, IHSG berhasil menghimpun tenaganya menjelang akhir perdagangan bahkan menyentuh level penutupan tertinggi sejak 30 September. Sepanjang perdagangan Selasa (15/10), IHSG bergerak fluktuatif di level 6.118,26 – 6.158,17.
Enam dari sembilan sektor berakhir di zona hijau, dipimpin industri dasar (+2,81 persen) dan barang konsumen (+0,46 persen). Tiga sektor lainnya ditutup di zona merah, dipimpin pertanian yang turun 0,27 persen.
Baca Juga
Dari 657 saham yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI) hari ini, sebanyak 213 saham menguat, 180 saham melemah, dan 264 saham stagnan.
Saham PT HM Sampoerna Tbk. (HMSP) dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) yang masing-masing naik 2,64 persen dan 3,25 persen menjadi pendorong utama penguatan IHSG di akhir perdagangan.
Indeks saham lainnya di Asia berakhir variatif. Indeks Topix dan Nikkei 225 Jepang masing-masing menguat 1,56 persen dan 1,87 persen, sedangkan indeks Kospi Korea Selatan berakhir naik tipis 0,04 persen.
Di China, dua indeks saham utamanya, Shanghai Composite dan CSI 300 masing-masing ditutup melemah 0,56 persen dan 0,43 persen. Adapun indeks Hang Seng Hong Kong terkoreksi 0,07 persen.
Meski pergerakan bursa saham Asia beragam, indeks saham Jepang mampu melonjak pascalibur nasional karena investor merespons bereaksi terhadap progres hubungan perdagangan antara AS dan China pada Jumat (11/10).
Kepada CNBC, Menteri Keuangan Steven Mnuchin mengatakan pihaknya membuat kemajuan substansial dalam negosiasi pekan lalu. Mnuchin berharap Presiden Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping akan menuntaskan perjanjian itu dalam sebuah konferensi di Chili bulan depan.
Sementara itu, musim rilis laporan kinerja keuangan perusahaan di AS akan dimulai pada Selasa (14/10). Di antara perusahaan ternama yang akan melaporakan kinerjanya adalah JPMorgan dan Goldman Sachs.
Para pelaku pasar dipastikan akan mencermati laporan tersebut mengingat latar belakang perlambatan pertumbuhan global, penurunan suku bunga, dan sejumlah risiko makro akibat proses penyelidikan pemakzulan terhadap Trump, perang dagang, Brexit, dan serbuan Turki ke Suriah.
"Kami akan menyarankan klien-klien kami untuk mengambil keuntungan dari penguatan ini,” ujar Tuan Huynh, kepala investasi Asia-Pasifik di Deutsche Bank Wealth Management.
“Di masa lalu, Trump telah mengumumkan semacam perjanjian tetapi pada akhirnya ternyata sedikit terlalu dini, jadi kehati-hatian diperlukan di bidang perdagangan,” tambahnya, dikutip melalui Bloomberg.
Fokus pasar kini telah bergeser ke Eropa di mana para pejabat pemerintah Inggris dan Uni Eropa akan bertemu dalam sebuah pertemuan pekan ini yang akan menentukan apakah Inggris akan menuju Brexit tanpa kesepakatan (no deal Brexit).
"Mengingat intervensi parlemen, saya akan mengatakan peluang Brexit tanpa kesepakatan sekitar 10 persen hingga 20 persen,” terang Shane Oliver, kepala strategi investasi dan kepala ekonom di AMP Capital Investors, Sydney.
"Jika ada kesepakatan, nilai tukar pound sterling akan menguat dan aset berisiko akan meningkat, tetapi reaksinya bisa terbatas,” tambahnya, dikutip dari Reuters.
Namun, para pedagang memperingatkan bahwa sentimen pasar tetap rapuh karena hasil pembicaraan Brexit masih jauh dari kepastian dan perang dagang AS-China tetap berisiko terhadap pertumbuhan global.
Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kinerja neraca perdagangan September 2019 mengalami defisit US$160,5 juta dibandingkan dengan surplus pada bulan sebelumnya US$85,1 Juta.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, neraca perdagangan Januari-September US$124,1 miliar masih mengalami defisit US$1,9 miliar.
“Defisit ini dibandingkan dengan periode sama 2018, masih lebih rendah. Jadi defisit relatif menyusut," ujar Suhariyanto saat jumpa pers.
Menurutnya, ada banyak perlambatan global yang menyebabkan defisit. Dia memerinci bahwa neraca perdagangan Januari-September 2019 mencatatkan total impor US$126, miliar, sedangkan untuk ekspor tercatat US$124,1 miliar sehingga neraca perdagangan Januari-September 2019 tercatat defisit US$1,95 miliar.
Adapun angka impor September 2019 tercatat mengalami kenaikan secara (mtm) sebesar US$14,26 miliar, atau naik 0,63%.
Secara kumulatif, Januari-September 2019, total impor tercatat US$126,12 miliar atau jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya ada penurunan 9,12%. Adapun peran untuk golongan bahan baku penolong dalam impor tercatat 74,10%.
Untuk ekspor pada September 2019 menurun 1,29% menjadi US$,10 miliar dibandingkan dengan Agustus 2019. Suhariyanto menyatakan dibandingkan dengan September 2018, penurunan ekspor September 2019 ini tercatat sebesar 5,74%.
Secara kumulatif dari Januari-September 2018, total ekspor mengalami penurunan 8,0% (yoy) dari Januari-September 2018. Adapun Agustus – September, ekspor tercatat US$124,17 miliar.
Berbanding terbalik dengan IHSG, nilai tukar rupiah lanjut ditutup melemah 26 poin atau 0,18 persen di level Rp14.166 per dolar AS pada Selasa (15/10), setelah berakhir terdepresiasi tipis 2 poin atau 0,01 persen di posisi 14.140 pada Senin (14/10).
Saham-saham pendorong IHSG: | |
---|---|
Kode | Kenaikan (persen) |
HMSP | +2,64 |
BBNI | +3,25 |
INKP | +11,55 |
CPIN | +3,64 |
Saham-saham penekan IHSG: | |
---|---|
Kode | Penurunan (persen) |
BBCA | -0,40 |
ICBP | -1,94 |
TLKM | -0,48 |
TCPI | -4,48 |
Sumber: Bloomberg