Bisnis.com, JAKARTA – PT Lippo Karawaci Tbk. terus mencatatkan kinerja positif menjelang akhir kuartal III/2019. Berdasarkan perkiraan, Lippo akan menjadi pengembang dengan pendapatan tertinggi sekaligus rasio utang terendah pada 2019.
Hal ini tak lepas dari right issue yang dilakukan Lippo pada Juni 2019. Perusahaan berhasil meraup dana segar sebesar US$787 juta atau setara Rp11,2 triliun.
Secara keseluruhan, enam indikator utama menunjukkan kinerja perusahaan dengan kode emiten LPKR tersebut menjadi yang terbaik di antara para pengembang. Enam indikator tersebut adalah revenue, recurring revenue, assets, debt to equity ratio, number of malls, dan average trading volume.
Head of Research Reliance Sekuritas Indonesia Lanjar Nafi mengatakan bahwa kinerja positif Lippo sejalan dengan tren bisnis sektor properti yang positif. “Apalagi dari segi bunga juga saat ini masih kompetitif dan ekonomi secara makro juga masih cukup baik,” ujar Lanjar dalam keterangan resmi, Rabu (11/9/2019).
Menurut Lanjar, raihan dana right issue juga menjadikan struktur permodalan Lippo lebih kuat sehingga bisa lebih ekspansif. Selain itu, Lippo juga dianggap lihai dalam membaca arah bisnis dengan menggandeng berbagai partner strategis.
Lippo diproyeksikan akan membukukan pendapatan senilai Rp13,5 triliun sepanjang 2019, naik 22% dari Rp11,057 triliun pada tahun sebelumnya. Pendapatan Lippo meroket sedangkan pengembang lain bahkan tidak mampu menyamai pendapatan tahun 2018.
Sebagai contoh, pengembang PT Ciputra Land Tbk. yang merupakan pengembang terbesar kedua di Indonesia diperkirakan hanya membukukan pendapatan sebesar Rp7,4 triliun pada 2019. Angka ini lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp7,7 triliun.
Adapun PT Agung Podomoro memiliki capaian Rp4,5 triliun, turun dari Rp5 triliun tahun lalu.
Pendapatan pengembang lain juga belum mampu mendekati Lippo. Sinar Mas Land (BSDE) diperkirakan meraih pendapatan sebesar Rp7,2 triliun, Pakuwon (PWON) Rp7,1 triliun, Summarecon (SMRA) Rp5,9 triliun, Jababeka (KIJA) Rp3,3 triliun, dan Modern Land Rp2,7 triliun.
Dari sisi aset, Lippo juga memimpin dengan total aset mencapai Rp58,7 triliun, disusul Sinar Mas Land dengan aset Rp54 triliun, Ciputra Rp35,7 triliun, Agung Podomoro Rp29,7 triliun, Pakuwon Rp28,7 triliun, Summarecon Rp23,9 triliun, Modern Land Rp16,5 triliun, dan Jababeka Rp12 triliun.
Dari sisi recurring revenue, Lippo juga menjadi pengembang paling mocer dengan proyeksi pendapatan senilai Rp9,6 triliun. Recurring revenue Lippo hampir tiga kali lipat lebih banyak dari raihan Pakuwon di posisi kedua sebesar Rp3,4 triliun.
Dari sisi likuiditas perusahaan, Lippo juga semakin solid. Debt to equity ratio (DER) Lippo saat ini adalah yang terbaik di antara semua pengembang di angka 37 persen. DER Lippo yang sangat rendah menunjukkan kesehatan perusahaan yang sangat baik dan kemampuan untuk berkembang di tahun-tahun mendatang.
Adapun dari sisi kepemilikan mal, Lippo juga memimpin dengan jumlah 51 mal. Pengembang Summarecon berada di posisi kedua dengan 16 mal, Agung Podomoro 13 mal, Pakuwon 7 mal, Ciputra 4 mal, dan Summarecon 3 mal.
Dari sisi average trading volume, saham Lippo juga tercatat paling banyak diperdagangkan, yakni sebanyak 80 juta lembar saham per hari. Jumlah ini lebih banyak dibanding saham pengembang lainnya, seperti Pakuwon 75 juta lembar, Ciputra 46 juta lembar, Agung Podomoro 40 juta lembar, dan Summarecon 16 juta lembar.