Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak dunia naik sekitar 3 persen pekan lalu, setelah mencatat penurunan harian terbesar dalam beberapa tahun. Situasi tersebut terjadi di tengah upaya Presiden Amerika Serikat Donald Trump menjatuhkan sanksi impor kepada China.
Seperti dikutip dari Reuters, Minggu (4/8/2019), tercatat harga minyak mentah Brent untuk pengiriman Oktober ditutup berada di level US$61,89 per barel, naik 2,30 persen atau 1,39 poin, Jumat (2/8/2019).
Namun, harga acuan global tersebut sempat merosot lebih dari 7 persen pada Kamis (1/8/2019), penurunan harian tertajam dalam lebih dari tiga tahun.
Sementara itu, harga minyak mentah berjangka WTI untuk pengiriman September berakhir di level US$55,66 per barel, naik 1,71 poin atau 3,17 persen, setelah hampir 8 persen terjun sehari sebelumnya, kerugian terbesar dalam lebih dari empat tahun.
Adapun sepanjang pekan lalu, dua harga acuan minyak dunia, WTI mencatat kerugian. Untuk Brent kehilangan sekitar 2,7 persen, sedangkan WTI merosot 1,2 persen.
Sebelum penurunan pada Kamis, harga minyak mentah berjangka terpantau reli, tetapi rapuh, didukung oleh penarikan stabil dalam persediaan minyak AS. Namun, ditekan oleh propsek permintaan global yang goyah.
Analis komoditas di RoboResearch Ryan Fitzmaurice menilai, pasar masih mencerna dampak tarif AS tersebut pada pasar minyak, tetapi mengingat China telah mengambil sangat sedikit minyak mentah AS tahun ini, kemungkinan sanksi tersebut kurang berdampak di pasar minyak.
“Kami melihat sedikit ruang untuk tarif yang secara langsung berdampak pada fundamental pasar,” ujarnya.
Seperti diketahui, tarif baru Washington terhadap China, yang mulai berlaku pada 1 September, menggiatkan perang dagang antar dua ekonomi terbesar dunia tersebut. Setiap perlambatan ekonomi yang dihasilkan, berpotensi menganggu permintaan minyak mentah.
Pada pekan lalu, Trump mengatakan, pihaknya akan mengenakan tarif 10 persen pada impor Cina senilai US$300 miliar. Menurutnya tarif itu bisa bertambah jika presiden China, Xi Jinping, gagal bergerak lebih cepat menuju kesepakatan perdagangan.
Pengumuman tersebut memperluas tarif AS ke hampir semua produk Tiongkok yang diimpor. China mengatakan tidak akan menerima ‘intimidasi atau pemerasan’, dan berjanji akan melakukan tindakan balasan.
China, yang pernah menjadi pembeli utama minyak mentah AS, memangkas pembeliannya tahun lalu karena perang perdagangan berlarut-larut.
Di sisi lain, meningkatnya perang dagang tersebut dapat mendorong The Fed ke arah penurunan suku bunga lebih lanjut, yang kemungkinan akan mendorong harga minyak.
Phil Flynn, analis di Price Futures Group di Chicago mengatakan, perang dagang tersebut akan meningkatkan peluang secara dramatis bahwa The Fed harus menurunkan suku bunga lagi. “Mungkin dua kali tahun ini,” ujarnya.
Data dari Biro Sensus AS menunjukkan, ekspor minyak mentah AS melonjak 260.000 barel per hari (bph) pada Juni ke rekor bulanan 3,16 juta barel per hari, karena Korea Selatan membeli dalam volume besar, dan China melanjutkan pembelian.
Pasar juga memantau penghitungan rig minyak mingguan AS, indikator produksi, yang turun selama lima minggu berturut-turut karena sebagian besar produsen independen memangkas pengeluaran, meskipun perusahaan-perusahaan besar masih terus maju dengan investasi dalam pengeboran baru.