Bisnis.com, JAKARTA — Seluruh indeks obligasi Indonesia ditutup menguat pada akhir perdagangan Jumat (30/6/2019). Indonesia Composite Bond Index (ICBI) naik sebesar 7,97% secara year to date ke level 260,2775 dan naik tumbuh 12% secara tahunan.
Sejalan dengan penguatan ICBI, obligasi negara (INDOBeXG-Total Return) juga bergerak 8,04% dibandingkan dengan posisi pada akhir tahun lalu. Diikuti pula oleh penguatan obligasi korporasi (INDOBeXC-Total Return) naik 7,37%.
Pada pekan terakhir Juni, pasar obligasi Indonesia bergerak sideways seiring beragam sentimen dominan yang baru akan dirilis menjelang akhir pekan, antara lain data final GDP AS Q1-2019 yang diproyeksikan stagnan di level 3,1% serta fokus pasar terhadap pelaksanaan KTT G20. ]
Seperti diketahui, Presiden AS dan China dijadwalkan akan bertemu di sela-sela KTT G20 tersebut untuk membahas bagaimana kelanjutan negosiasi damai dagang antara kedua negara. Sementara itu, dari domestik, pasar juga akan mencermati bagaimana kinerja neraca dagang periode Mei pascamencatatkan defisit terbesar sepanjang sejarah pada bulan sebelumnya.
Berdasarkan laporan PT Penilai Harga Efek Indonesia atau dikenal dengan Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), kurva yield obligasi Indonesia denominasi Rupiah sudah berpola bullish sejak pekan sebelumnya pada 21 Juni 2019. Yield seluruh tenor 1-30tahun kompak turun dan mencatatkan penurunan rata-rata hingga 16 dibandingkan dengan periode yang sama pekan sebelumnya.
Penurunan yield juga terjadi pada kurva PHEI-ICBYC (PHEI- Indonesia Corporate Bonds Yield Curve). Yield tenor 1-10 tahun terpantau turun dengan rata-rata sebesar 23,47bps.
Baca Juga
Harga seluruh seri menguat, sukuk negara juga mencatatkan return positif sebesar 10,23% (year to date). Membandingkan dengan laporan IBPA pada 21 Juli harga seri-seri obligasi syariah negara dominan menguat. Dari 27 seri yang beredar, 23 seri di antaranya terpantau naik pada rentang 2,71bps hingga 208,89bps dibandingkan dengan periode yang sama pekan lalu.
Analis Fixed Income Anugerah sekuritas Ramdhan Ario Maruto mengatakan bahwa kendati yield SUN seri acuan 10 tahun sempat melemah hingga ke level 8% pada Maret lalu dengan mencuatnya kembali isu perang dagang antara AS dan China, tetapi sepanjang paruh pertama tahun ini, yield memiliki kecenderungan mengecil dan mendarat di level 7,3% per 28 Juni 2019.
Penurunan yield secara signifikan, tidak terlepas dari mulai terciptanya kestabilan global dengan pernyataan positif Preiden Donald Trump yang mengindikaiskan ke arah perdamaian antara AS dan China yang lebih dulu diikuti sentimrn penurunan suku bunga global
“Kami sempat memprediksikan bahwa yield akan turun ke level 7,2% akhir tahun ini, tetapi ternyata lebih cepat. Paruh pertanma tahun ini sudah achieve malah,” jelasnya Minggu (30/6/2019).
Dia memproyeksikan yield masih bisa mengalami penurunan kembali secara terbatas apabila ini perang dagang pada akhirnya mencapai kesepakatan. Hal itu ditunjang dengan makro ekonomi yang juga bertahan di level sekarang akan mendorong penguatan rupiah lebih besar, yakni kestabilan inflasi.
Selain itu, kata dia, investor lokal juga tumbuh mengerakkan pasar, tercermin dari naiknya jumlah dana yang dikelola perbankan dan asuransi. Kondisi pasar tahun ini lebih cerah bagi pasar dibandingkan tahun lalu. “PR-nya adalah cadangan devisa sama neraca perdagangan. Sempat 2 bulan lalu neraca perdagangan terjelek. Ekspor lebih rendah dibandingkan impor,” imbuhnya.
Senada, analis fixed income Capital Asset Manajemen Desmon Silitonga mengatakan reli pasar obligasi mulai nampak ketika adanya kenaikan investment grade pada akhir Mei 2019 serta adanya potensi perang dagang tidak berlanjut. Arus masuk dana di SBN hampir mencapai Rp90 triliun—Rp100 triliun.
“Kalau saya ambil kesimpulan, SBN kita secara valuasi menarik karena yield nya sudah cukup terlalu tinggi. Sementara rating kita sudah naik. Jadi memang sudah sewajarnya semester pertama bisa sampai 7,3%,” ungkapnya.
Paruh Kedua
Desmon menyebutkan, pada semester II/2019, kondisi perang dagang serta nilai tukar dan penurunan BI Rate akan mewarnai pergerakan obligasi. Pada Juli nantinya probalitas The Fed menurunkan suku bunga cukup besar memberikan sentimen positif bagi Indonesia. “Masalahnya nanti ada dua nilai tukar kalau masih fluktuastif SBN kita bisa kena. Selanjutnya bagaimana BI rate sekarang, room yield turun sedikit terbatas,” jelasnya.
Sementara itu, analis Danareksa Sekuritas Amir Dalimunthe mengatakan, secara umum yield SUN rupiah 10 tahun telah turun sekitar 60bps dari posisi akhir 2018 lalu. Penurunan yield Indonesia banyak didukung oleh peningkatan sentimen positif terhadap Indonesia yang tercermin dari penurunan CDS 5-tahun Indonesia serta meningkatnya kepemilikan asing di SBN rupiah yang dapat diperdagangkan.
“Confidence tersebut juga diperkuat oleh rating upgrade yang diberikan oleh S&P di bulan Mei lalu. Selain itu, pandangan the Fed yang lebih dovish selama kuartal I/2019, juga turut meredakan tekanan di pasar keuangan global," ungkapnya
Selanjutnya, dia memprediksikan minat investor terhadap obligasi rupiah diperkirakan masih akan kuat. Dia mengatakan, bagi investor domestik, minat untuk obligasi korporasi diperkirakan akan semakin meningkat karena yield yang ditawarkan umumnya masih lebih tinggi dibandingkan obligasi pemerintah.
Sejak awal tahun hingga awal kuartal II/2019, penerbitan obligasi korporasi cenderung lebih banyak untuk tenor yang pendek. Emiten akan mempertimbangkan permintaan di tenor yang agak panjang seperti tenor 5 tahun dengan potensi yield yang masih dalam tren penurunan.
Menurutnya, selama semester II/2019, prospek ekonomi dunia dan arah suku bunga AS akan menjadi bahan pertimbangan yang penting bagi Bank Indonesia dalam menentukan timing penyesuaian tingkat suku bunga. Selain itu, perkembangan isu geopolitik juga akan mempengaruhi persepsi risiko investor global serta minat mereka terhadap instrumen safe haven. Selain itu, peluang penurunan suku bunga acuan AS yang cukup besar pada semester II/2019, tergambar dari yield US Treasury yang masih berada di bawah level Fed Fun Rate (FRR).