Bisnis.com, JAKARTA -- Manajer Investasi menilai eskalasi perang dagang antara AS dan China kali ini tak akan membawa dampak negatif yang cukup lama. Bahkan, pelemahan saat ini dinilai sebagai waktu yang baik untuk kembali masuk di harga murah.
Denny R. Thaher, CEO Maybank Asset Management, menjelaskan bahwa skenario terburuk dari hubungan dagang antara AS dan China diperkirakan dapat terjadi apabila keduanya tak kunjung mencapai kesepakatan pada pertemuan kelompok negara 20 (G20).
Apabila AS akhirnya tetap menaikkan tarif lagi untuk semua barang impor asal China, kata Denny, kekhawatiran berikutnya adalah terjadi perang mata uang (currency war) yang berdampak negatif terhadap rupiah dan kinerja pasar modal dalam negeri.
“Untuk meminimalisir dampak tersebut, sebagai investor dapat menaikan porsi kas dan obligasi tenor pendek, serta fokus hanya pada saham-saham berkualitas dan tidak dimiliki banyak oleh asing,” kata Denny kepada Bisnis.com, Selasa (14/5/2019).
Kendati perang dagang AS dan China akan membuat prospek IHSG menjadi lebih negatif, Denny menilai IHSG yang telah turun lebih dulu sejak awal tahun ketimbang indeks saham di negara lain berpotensi mendapat bottom yang lebih awal pula, jika dilihat dari valuasi dan kinerja perusahaan tahun ini.
Direktur Panin Asset Management Rudiyanto pun yakin sentimen perang dagang tak akan lama berimbas pada pelemahan IHSG. Menurutnya, dari pengalaman ketika tarif diberlakukan oleh AS maupun China pada tahun lalu, IHSG masih dapat bergerak naik. Adapun Panin Asset Management belum mengubah target IHSG hingga akhir tahun ini di kisaran 7.200—7.400.
Baca Juga
Penopang dari IHSG nantinya, kata Rudiyanto, akan berasal dari prospek penurunan suku bunga dari Bank Sentral AS pada akhir tahun ini atau awal tahun depan. “Penurunan suku bunga menurut kami menjadi salah satu key changer yang bisa meningkatkan IHSG,” kata Rudiyanto.
Rudiyanto membenarkan bahwa perang dagang akan membuat pertumbuhan ekonomi global menjadi tertekan dan China kemungkinan bakal mendevaluasi mata uang supaya tetap kompetitif, sehingga akan menguatkan dolar AS.
Namun, sisi positif dari kondisi tersebut nantinya adalah Bank Sentral AS malah bisa lebih cepat dalam menurunkan suku bunga untuk mengantisipasi gejolak berlebihan.
Direktur Utama BNI Asset Management Reita Farianti masih mempertahankan pandangan positif terhadap kinerja pasar modal tanah air ke depan, khususnya dengan berbagai faktor domestik yang terus menunjukkan perbaikan.
“Apalagi dengan kondisi politik yang terus mendukung iklim bisnis. Risiko dari perang dagang ini kami nilai bersifat sementara, mengingat isu ini sudah berjalan sejak tahun 2018 lalu,” katanya sambil menambahkan bahwa valuasi yang turun saat ini merupakan kesempatan untuk masuk di level harga yang jauh lebih menarik.
Sementara dari sisi aliran modal keluar, Rudiyanto yakin sentimen perang dagang tak akan memicu outflow besar-besaran seperti 2 tahun terakhir. Pasalnya, capital outflow yang terjadi pada 2017 dan 2018 lebih disebabkan karena Federal Reserve melakukan normalisasi balance sheet.
Melihat kondisi sekarang ini, imbuh Rudiyanto, The Fed bahkan telah mengumumkan pada Maret bahwa normalisasi akan dihentikan. Merespons hal tersebut, bank sentral di Jepang, Eropa, dan China juga telah semakin banyak menambah likuiditas ke pasar.
“Kemungkinannya kecil [untuk terjadi outflow besar-besaran] , menurut kami. Karena bank sentral tidak lagi dalam posisi melakukan pengetatan,” tutur Rudiyanto.