Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Turbulensi Saham Garuda Indonesia (GIAA) Pascapolemik Laporan Keuangan 2018

Pascapolemik laporan keuangan 2018 muncul ke permukaan pada 24 April 2019, saham PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. mengalami turbulensi di pasar modal.
Manajemen Garuda Indonesia saat menggelar paparan publik di Hanggar 4 Garuda Maintenance Facility Aero Asia, Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Rabu (8/5/2019)/Bisnis-Muhammad  Ridwan
Manajemen Garuda Indonesia saat menggelar paparan publik di Hanggar 4 Garuda Maintenance Facility Aero Asia, Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Rabu (8/5/2019)/Bisnis-Muhammad Ridwan

Bisnis.com, JAKARTA — Pascapolemik laporan keuangan 2018 muncul ke permukaan pada 24 April 2019, saham PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. mengalami turbulensi di pasar modal.

Berdasarkan data dari Bloomberg, pelaku pasar merespon polemik tersebut, saham emiten berkode GIAA itu telah merosot 21,98% dari Rp505 pada 23 April 2019 menjadi Rp394 pada Mei 2019. Namun, secara tahun berjalan saham GIAA terapresiasi 32,21% dari Rp298 pada akhir 2018.

Sepanjang tahun ini, saham GIAA mencatatkan harga terendahnya pada 2 Februari 2019 yakni Rp290 per saham. Sementara itu, harga tertinggi saham GIAA tercatat Rp630 pada 6 Maret 2019. Adapun harga rata-rata perdagangan saham GIAA sepanjang 2019 adalah Rp453 per saham.

Dalam laporan sebelumnya, laporan keuangan 2018 PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. telah disetujui para pemegang saham dalam rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) yang digelar pada Rabu (24/4/2019), di Jakarta, meskipun dengan catatan.

Catatan tersebut adalah tidak ditandatanganinya laporan keuangan 2018 oleh dua komisaris perseroan. Kedua komisaris yang memberikan catatan dessenting opinion itu yakni Chairal Tanjung dan Dony Oskaria yang tak lain adalah Komisaris perseroan yang merupakan wakil dari PT Trans Airways dan Finegold Resources Ltd selaku pemegang 28,08% saham di GIAA.

Usai rapat, Chairal menjelaskan bahwa keberatannya akan laporan keuangan tersebut karena perjanjian antara Mahata dan Citilink tidak dapat diakui dalam tahun buku 2018.

Pasalnya, perjanjian Mahata yang ditandatangani pada 31 Oktober 2018 tersebut, hingga tahun buku berakhir, bahkan hingga 2 April 2019 saat surat keberatan yang dilayangkan, perseroan tidak menerima satu pembayaran yang telah dilakukan oleh pihak Mahata meskipun telah terpasang satu unit alat di Citilink.

“Kami tidak sependapat dengan perlakuan akutansi yang diterapkan. Laporan tidak berubah, kan tadi sudah diterima di RUPS, dengan catatan dua dessenting opinion,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Muhammad Ridwan
Editor : Akhirul Anwar
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper