Bisnis.com, JAKARTA — Meredanya tekanan gejolak ekonomi global menjadi momentum yang baik bagi korporasi dalam negeri, terutama perbankan, untuk menjajaki peluang penerbitan obligasi global tahun ini guna menyiasati kondisi pengetatan likuiditas di dalam negeri.
Sejumlah perbankan nasional, terutama dari keluarga BUMN, mengungkapkan rencana untuk menarik pendanaan dari luar negeri, termasuk dari penerbitan obligasi global. PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. atau BMRI, misalnya, menargetkan pendanaan hingga US$1 miliar.
Selain itu, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. atau BBTN juga memiliki rencana serupa dengan target US$300 juta. PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. atau BBNI juga akan menarik pembiayaan global, tetapi target dananya belum diungkapkan.
Baru-baru ini, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. atau BBRI menjadi bank pertama yang menerbitkan obligasi global tahun ini, yakni senilai US$500 juta. Obligasi ini juga merupakan global sustainability bond pertama di Indonesia.
Nurulita Harwaningrum, Analis MNC Sekuritas, mengatakan bahwa upaya emiten perbankan untuk menarik pembiayaan dari pasar global merupakan langkah positif, mengingat hingga akhir tahun lalu kondisi likuditas perbankan sangat ketat.
Ketatnya likuiditas tercermin dari level loan to deposit ratio (LDR) perbankan nasional yang mencapai 94%. Rata-rata pertumbuhan kredit perbankan nasional pada 2018 mencapai sekitar 12,45%, sedangkan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) hanya 6,45%.
Nurulita mengatakan, tahun ini volatilitas rupiah diperkirakan akan tetap stabil dan lebih baik dibandingkan tahun lalu. Hal ini menyebabkan risiko kurs relatif rendah bagi bank yang ingin menerbitkan obligasi global.
Langkah ini juga lebih menguntungkan bagi bank, sebab likuiditas global jauh lebih tinggi, sedangkan persaingan perebutan likuditas pasar surat utang dalam negeri cukup ketat. Mereka juga dapat menerbitkan utang dengan bunga yang lebih rendah dibandingkan bila menerbitkan di dalam negeri.
“Ini langkah yang baik karena bunga kredit yang mereka salurkan di sini juga masih tinggi [dibandingkan kupon obligasi global yang diterbitkan nanti], sehingga NIM [net interest margin] akan tinggi. Likuiditas yang mengetat di dalam negeri tahun lalu menyebabkan NIM turun trennya,” katanya, Rabu (27/3/2019).
Tahun lalu, kinerja penyaluran kredit bank-bank BUMN ini rata-rata cukup baik, relatif lebih tinggi dibandingkan kondisi industri. BBRI misalnya mencapai 14% yoy, BBNI 16% yoy, sedangkan BMRI 12%.
Prospek pertumbuhan penyaluran kredit bank-bank BUMN ini tampaknya akan tetap tinggi tahun ini, sehingga langkah peningkatan likuiditas melalui emisi obligasi global layak ditempuh. Di sisi lain, tingginya bunga obligasi di dalam negeri saat ini menybabkan sebagian investor mengalihkan investasinya dari deposito ke obligasi sehingga menurunkan DPK perbankan.
Nurulita menilai, sejauh ini kondisi fundamental bank-bank BUMN masih baik. Dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi 5,2% tahun ini, mereka masih bisa menikmati pertumbuhan pendapatan dan laba yang positif tahun ini.
Dirinya merekomendasikan beli saham BBRI dengan target harga Rp4.400, sedangkan BMRI dan BBNI direkomendasikan tahan dengan target harga masing-masing Rp7.850 dan Rp10.000. Sementara itu, BBTN belum merilis laporan keuangan, sehingga untuk sementara dirinya merekomendasikan beli dengan target harga Rp2.900.