Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bijih Besi Mengekor Pelemahan Komoditas

Harga bijih besi berjangka berbalik negatif mengikuti penurunan harga komoditas industri lainya, seiring dengan ketidakpastian terhadap prospek pertumbuhan ekonomi global 2019.
Seorang pekerja sedang meratakan bijih besi di atas kereta cargo di stasiun kereta Chitradurga, di Karnataka, India (9-11-2012)-Reuters-Danish Siddiqui
Seorang pekerja sedang meratakan bijih besi di atas kereta cargo di stasiun kereta Chitradurga, di Karnataka, India (9-11-2012)-Reuters-Danish Siddiqui

Bisnis.com, JAKARTA — Harga bijih besi berjangka berbalik negatif mengikuti penurunan harga komoditas industri lainya, seiring dengan ketidakpastian terhadap prospek pertumbuhan ekonomi global 2019.

Berdasarkan laporan Analis Citigroup, harga bijih besi melanjutkan kontraksinya seiring dengan laporan International Moneter Fund (IMF) yang memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi dunia pada 2019 hingga 2020, yang menambah sentimen negatif pada aset investasi berisiko.

“Harga komoditas, termasuk bijih besi, sedang berjuang untuk mencapai keseimbangan antara ekspektasi jangka menengah hingga panjang yang lemah dan penguatan di pasar pada jangka pendek,” tulis Citigroup seperti dikutip dari Bloomberg, hari ini, Selasa (22/1/2019).

Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan, hari ini, Selasa (22/1/2019), harga bijih besi untuk kontrak teraktif Mei 2019 di bursa Dalian Commodity Exchange (DCE) melemah tipis sebesar 0,19% atau turun 1 poin menjadi 532 yuan per ton.

Adapun, IMF menurunkan prospek ekonomi global pada tahun ini dan memprediksi laju pertumbuhan paling lambat dalam tiga tahun terakhir pada 2019.

Sebelumnya, laporan Bank Suisse Group AG, memperkirakan harga bijih besi  pada kuartal pertama tahun ini sebesar US$65 per ton akan terbukti terlalu rendah seiring dengan faktor pasokan dan permintaan yang menguat.

Selain itu, Analis Goldman Sachs Hui Shan pernah mengatakan, harga bijih besi yang sempat reli cukup tinggi tidak akan bertahan lama dan diperkirakan kembali anjlok mencapai US$60 per ton pada 6 bulan ke depan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Finna U. Ulfah
Editor : Gajah Kusumo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper