Bisnis.com, JAKARTA – Pasar global kemungkinan akan mengalami kelebihan pasokan dalam 2-3 tahun ke depan dan menyebabkan harga mengalami penurunan tajam.
Penurunan harga secara bertahap pada 2019 dan 2020 diperkirakan terdorong oleh fokus China untuk membuat perekonomiannya tidak terlalu ketergantungan dengan investasi dan pertumbuhan pasokan dari pasar seaborne.
Menurut laporan S&P Global Ratings, pertumbuhan produksi baja China diperkirakan akan tetap datar pada 2018 dan menurun sekitar 2% pada 2019.
Untuk jangka panjang, kenaikan penggunaan baja scrap untuk produksi baja dalam barang elektronik juga akan memacu penurunan permintaan bijih besi dari China.
Sejak masuk ke pasar bearish sejak pertengahan Maret, harga patokan biji berkandungan 62% terus datar, bergerak di kisaran US$60 per ton. Hal itu kontras dengan kondisi naik-turun pada beberapa tahun sebelumnya.
Pada 2017, harga bijih besi sempat berada di posisi US$40 per ton di tengah kinerja industri baja yang menguat, terutama di China, dan kenaikan pasokan bijih besi dari pertambangan di Brasil termasuk dari Vale SA.
Bijih besi diperkirakan akan berada di posisi US$65 per ton hingga akhir 2018, dan turun ke US$60 per ton pada 2019, kemudian dilanjutkan ke posisi US$55 per ton pada 2020, belum berubah dari asumsi sebelumnya.
“Harga US$70 telah menjadi level resistan yang harus ditembus untuk menentukan tren harganya ke depan,” ujar Calum Austin, Direktur Pelaksana Komoditas Derivatif di Singapore Exchange Ltd., dilansir dari Bloomberg, Rabu (12/9/2018).
Sanford C. Bernstein justru menaruh sentimen bullish pada harga bijih besi, memprediksi harganya akan berakhir di posisi US$67,95 per ton, dan bisa pulih secara bertahap.