Bisnis.com, JAKARTA - Emiten sektor barang konsumsi, perbankan, dan pertambangan menjadi tiga sektor pilihan yang diprediksi memberikan imbal hasil positif di pasar modal pada kuartal II/2018 sejalan dengan naiknya daya beli masyarakat.
Head of Research and Strategy PT Danareksa Sekuritas Helmy Kristanto mengatakan, sejumlah sentimen positif akan mendorong peningkatan konsumsi masyarakat pada kuartal II/2018. Di antaranya Hari Raya Idulfitri, pilkada serentak, dan Asian Games.
“Ada acara-acara nasional yang bisa menambah dukungan terhadap demand atau konsumsi masyarakat. Kami melihat pada kuartal kedua diharapkan dari sisi domestic consumption akan lebih baik,” kata Helmy dalam keterangan resmi yang diterima, Senin (21/5/2018).
Pada kuartal I/2018, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,06% year on year (yoy), lebih rendah dari kuartal empat 2017 yang tercatat 5,19%. Konsumsi masyarakat pada kuartal I/2018 hanya tumbuh 4,95% yoy, lebih rendah dari kuartal empat 2017 sebesar 4,97%.
Kata Helmy, jika basic consumption bisa naik,akan memperbaiki produk domestik bruto (PDB). Dia menyebut tiga bulan kedua tahun ini sebagai musim perayaan, terutama karena adanya pilkada tiga provinsi di Jawa yang akan berpengaruh besar
Sebab itu, sektor potensial yang bisa dicermati investor konsumsi termasuk ritel, konsumsi pokok (consumer staples), dan media. Consumer staples biasanya berupa barang-barang yang tidak bisa dikurangi oleh masyarakat dari bujetnya di tengah kondisi finansial apapun.
Selama kuartal I/2018, sektor consumer masih tertekan sehingga dengan harapan naiknya konsumsipada kuartal II/2018 bisa membuat saham-saham di sektor ini akan naik kembali. Selama year to date per awal Mei 2018, sektor consumer tertekan sekitar 14%.
"Tertekannya sektor ini karena memang terus terang consumer ini memiliki komponen impor bahan baku cukup banyak cost-nya. Jadi kalau dolar AS semakin menguat, biaya emiten consumer cenderung akan naik," imbuhnya
Sektor pilihan lainnya ialah perbankan karena secara valuasi harga sahamnya masih cukup murah. Dari sisi performa, kinerja sektor perbankan juga masih baik, kualitas aset juga terjaga.
"Porsi sektor perbankan ke Indeks Harga Saham Gabungan [IHSG] kita sekitar 30%, kepemilikan asing juga rata-rata ya di perbankan."
Satu sektor lain yang juga prospektif ialah sektor pertambangan yang berbasis ekspor. Sektor ini berhubungan erat dengan depresiasi rupiah. Menurut Helmy, selama awal tahun ini sektor pertambangan yang berorientas ekspor terutama batu bara cukup mampu bertahan.
Potensi sektor ini diperkuat dengan tren kenaikan harga komoditas. Bloomberg mencatat, harga minyak mentah dunia jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk patokan pasar Amerika, sudah melesat 55% dalam setahun terakhir. Pada 9 Mei 2017, harga minyak masih di level US$45,88 per barel dan pada 9 Mei 2018 tembus di atas US$71 per barel.
Harga batu bara di Bursa ICE juga terus menanjak. Pada 8 Mei 2017 harga batu bara untuk pengiriman Januari 2019 masih di level US$66 per metrik ton, kemudian naik menjadi US$95,10 per metrik ton pada 9 Mei 2018.
"Harga batu bara juga kan memang terus terang masih cukup tinggi, jadi kami memasukkan sektor mining ini cukup baik karena sekali lagi mereka eksportir dengan pendapatan berbasis dolar AS," ujarnya.
Terkait dengan depresiasi rupiah yang menyentuh di atas Rp14.000 per dolar AS, Helmy menegaskan nilai fundamental rupiah sebetulnya masih di level Rp13.500-13.600. Data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate atau JISDOR mencatat nilai tukar rupiah melemah di level Rp14.075 per dolar AS pada 9 Mei lalu.
"Level rupiah Rp14.000 ini bisa dibilang sedikit temporary sebenarnya, karena di Mei ini salah satu tekanannya ada pembayaran dividen. BI sepertinya akan lebih selektif dalam melakukan intervensi dengan menggunakan cadangan devisa. Namun jika demand naik, konsumsi naik, PDB kita membaik, seharusnya secara natural rupiah pun akan stabil," jelasnya.