Bisnis.com, JAKARTA – Bursa Asia melemah pada perdagangan pagi ini, Rabu (5/9/2018), mengikuti pergerakan sejumlah bursa saham global akibat terbebani konflik perdagangan yang terus mengikis minat investor untuk aset-aset berisiko.
Dilansir dari Reuters, indeks MSCI Asia Pacific selain Jepang turun 0,2%. Sementara itu, bursa saham Australia melemah 0,4%, indeks Kospi Korea Selatan turun 0,3%, dan indeks Nikkei Jepang melandai 0,25%.
Pada Selasa (4/9), bursa saham Amerika Serikat (AS) melemah seiring dengan anjloknya saham-saham seperti Facebook dan Nike yang menambah kekhawatiran atas negosiasi perdagangan antara AS dan negara-negara besar lainnya.
Indeks Dow Jones Industrial Average ditutup turun 108,52 poin atau 0,42% di level 25.856,30, sedangkan indeks S&P 500 turun 8,61 poin atau 0,30% di posisi 2.892,91 dan Nasdaq Composite berakhir turun 39,01 poin atau 0,48% di 8.070,53.
Diskusi antara Amerika Serikat (AS) dan Kanada diharapkan akan berlanjut hari ini waktu setempat. Diskusi sebelumnya berakhir pada Jumat (31/8) tanpa ada kesepakatan untuk mengubah Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA). Hal ini pun mendinginkan kepercayaan investor.
“Diskusi antara AS-Kanada akan dilanjutkan hari ini dan itu membuat isu-isu perdagangan disorot, dengan sikap wait and see terlihat pada pasar ekuitas,” kata Masahiro Ichikawa, pakar strategi senior di Sumitomo Mitsui Asset Management di Tokyo.
Baca Juga
“Lalu ada isu perdagangan AS-China, di samping turbulensi dalam mata uang emerging markets yang menjadi keprihatinan pasar,” tambah Ichikawa.
Keresahan para investor bertahan seiring dengan kabar rencana pengenaan tarif baru terhadap barang-barang senilai US$200 miliar asal China yang diperkirakan akan berlaku setelah periode komentar publik berakhir pada 6 September.
Pasar saham dan mata uang emerging markets menghadapi tekanan terbaru dengan kekhawatiran tentang inflasi di Turki dan kabar bahwa Afrika Selatan telah jatuh ke dalam resesi.
Saat investor menghindari mata uang emerging markets, dolar AS pun menguat berkat daya tariknya sebagai aset safe haven di tengah pergolakan.
Dolar AS menarik lebih banyak kekuatan dari optimisme sejumlah indikator ekonomi AS, sehingga mendukung arah kenaikan suku bunga lebih lanjut oleh bank sentral AS Federal Reserve.
Data pada Selasa (4/9) menunjukkan aktivitas manufaktur AS berakselerasi ke level tertinggi dalam lebih dari 14 tahun pada bulan Agustus, didorong lonjakan pesanan baru.