Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah bank jumbo seperti PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) hingga PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI) tengah bersiap merilis kinerja keuangan mereka pada semester I/2025. Di tengah momentum perilisan kinerja keuangannya, saham bank jumbo kompak jeblok.
Berdasarkan undangan yang diterima redaksi Bisnis.com, BBCA akan menggelar paparan kinerja kuartal I/2025 pada pekan depan, Rabu (30/7/2025) pukul 16.00 WIB hingga selesai. Turut hadir dalam paparan tersebut, Presiden Direktur BCA Hendra Lembong berikut jajaran direksi dan komisaris.
"Dalam rangka publikasi hasil kinerja PT Bank Central Asia Tbk [BCA] pada Semester I tahun 2025, kami mengundang rekan-rekan media untuk mengikuti dan meliput acara Paparan Kinerja Semester I 2025 - PT Bank Central Asia Tbk yang akan diselenggarakan secara virtual," tulis Senior Vice President Corporate Communication BCA Novie Yulianti dalam undangan.
Adapun, dalam lima bulan pertama 2025, BBCA mencatatkan kinerja laba moncer. BCA membukukan laba bersih individual sebesar Rp25,16 triliun per Mei 2025, tumbuh 16,31% secara tahunan (year on year/yoy) dari level Rp21,63 triliun per Mei 2024.
Selain BCA, sejumlah bank jumbo lainnya ancang-ancang merilis kinerja keuangan mereka pada semester I/2025. Namun, berbeda dengan BCA, kinerja laba bank jumbo lainnya seperti BBRI serta PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BBNI) lesu.
BRI membukukan laba bersih sebesar Rp18,65 triliun per Mei 2025, terkoreksi 14,87% yoy dari capaian per Mei 2024 yang sebesar Rp21,9 triliun.
Baca Juga
BNI mencetak laba bersih individual sebesar Rp8,45 triliun hingga Mei 2025, terkoreksi 1,34% yoy dari Rp8,57 triliun.
PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI) mencatatkan laba bersih Rp19,65 triliun per Mei 2025, masih tumbuh, meskipun terbatas 0,13% yoy dari sebelumnya Rp19,63 triliun.
Gerak Saham
Di sisi lain, jelang perilisan kinerja keuangannya, gerak saham bank jumbo kompak jeblok. Harga saham BBCA misalnya turun 0,59% ke level Rp8.450 per lembar pada penutupan perdagangan akhir pekan ini, Jumat (25/7/2025).
Harga saham BBCA juga turun 12,66% sepanjang tahun berjalan (year to date/ytd) atau sejak perdagangan perdana 2025.
Kemudian, harga saham BBRI turun 1,77% ke level Rp3.880 per lembar pada perdagangan akhir pekan ini. Harga saham BBRI juga turun 4,9% ytd.
Lalu, harga saham BMRI turun 2,29% ke level Rp4.690 per lembar pada perdagangan akhir pekan ini. Harga saham BMRI juga turun 17,72% ytd.
Selain itu, harga saham BBNI turun 3,08% ke Rp4.090 per lembar pada perdagangan akhir pekan ini. Harga saham BBNI juga turun 5,98% ytd.
Jebloknya kinerja saham bank jumbo beriringan dengan larinya investor asing. Saham BBCA misalnya mencatatkan nilai jual bersih atau net sell asing sebesar Rp16,4 triliun sepanjang 2025.
Kemudian, saham BMRI mencatatkan net sell asing Rp12,2 triliun, BBRI Rp3,96 triliun, dan BBNI Rp3,3 triliun sepanjang 2025 berjalan.
Dalam risetnya, Ciptadana Sekuritas Asia masih memberikan peringkat overweight meskipun terdapat revisi ke bawah terkait pertumbuhan estimasi pendapatan bagi saham bank jumbo BBRI, BMRI, dan BBNI.
Revisi pertumbuhan estimasi pendapatan didorong oleh laporan margin bunga bersih (net interest margin/NIM) di tengah perlambatan pertumbuhan kredit, likuiditas yang mengetat, serta kelanjutan tekanan pada yield asset.
Ciptadana Sekuritas mempertahankan pandangan overweight pada sektor perbankan, didukung oleh ekspektasi perbaikan NIM dan biaya kredit (cost of credit/CoC) pada semester II/2025, yang diperkirakan akan mendorong pertumbuhan pendapatan keseluruhan 2025.
BBCA menjadi top pick di antara bank-bank jumbo, yang didorong oleh kinerja solid yang konsisten dan profil keuntungan yang kuat.
Adapun, Community & Retail Equity Analyst Lead PT Indo Premier Sekuritas (IPOT) Angga Septianus menilai saham perbankan mempunyai peluang perbaikan kinerja di tengah momentum penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) pada semester II/2025.
Menurutnya penurunan suku bunga acuan sebenarnya memberikan sinyal bahwa otoritas moneter siap mendukung pertumbuhan ekonomi, menjaga stabilitas nilai tukar, dan menstimulus permintaan domestik.
"Kebijakan ini secara historis memiliki korelasi positif dengan peningkatan likuiditas di pasar saham serta memperkuat minat investor asing terhadap aset berisiko, terutama jika didukung oleh inflasi yang terkendali dan outlook fiskal yang tetap solid," ujar Angga.
Khusus bagi saham bank jumbo seperti BMRI dan BBCA, penurunan suku bunga acuan mendorong penyusutan biaya dana dan potensi pertumbuhan kredit yang lebih tinggi.
--------------------
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.