Bisnis.com, JAKARTA — Harga minyak mentah global melemah seiring dengan kekhawatiran investor terhadap dampak ekonomi dari gelombang tarif baru yang diumumkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Mengutip Reuters pada Jumat (11/7/2025), harga minyak Brent melemah US$1,55 atau 2,21% menjadi US$68,64 per barel. Sementara itu, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) AS terkoreksi US$1,81 atau 2,65% ke posisi US$66,57 per barel.
Penurunan harga terjadi setelah Trump mengancam akan mengenakan tarif sebesar 50% atas ekspor Brasil ke AS. Ancaman ini dilayangkan di tengah meningkatnya tekanan terhadap Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva terkait proses hukum terhadap mantan Presiden Jair Bolsonaro, yang dituduh berupaya menggagalkan pelantikan Lula pada 2023.
Sehari setelah pernyataan Trump, Lula menggelar rapat dengan para menterinya, menyusul unggahan di media sosial yang mengindikasikan kemungkinan penerapan langkah balasan.
Selain Brasil, Trump juga mengumumkan rencana pengenaan tarif terhadap produk tembaga, semikonduktor, dan farmasi. Surat pemberitahuan tarif juga dikirimkan ke Filipina, Irak, serta lebih dari selusin negara lainnya, termasuk mitra dagang utama AS seperti Korea Selatan dan Jepang.
Meski demikian, pasar tampak tidak terlalu reaktif. Menurut Harry Tchilinguirian, Kepala Riset di Onyx Capital Group, sejarah Trump yang kerap menarik kembali kebijakan tarif membuat pelaku pasar cenderung memilih bersikap wait and see.
Baca Juga
“Pasar sekarang banyak yang menunggu dan melihat, karena kebijakan yang tidak konsisten serta fleksibilitas yang ditunjukkan pemerintahan Trump dalam isu tarif,” jelas Tchilinguirian.
Risalah rapat The Fed pada 17–18 Juni lalu juga menunjukkan hanya beberapa pejabat yang mendukung pemangkasan suku bunga dalam waktu dekat, sementara mayoritas tetap khawatir terhadap tekanan inflasi yang dipicu oleh kebijakan tarif.
Kekhawatiran terhadap inflasi juga berdampak pada pasar energi, karena suku bunga yang lebih tinggi cenderung memperlambat permintaan terhadap minyak akibat biaya pinjaman yang meningkat.
Sementara itu, produsen minyak dalam aliansi OPEC+ disebut-sebut akan menyetujui peningkatan produksi besar lainnya untuk September. Langkah ini merupakan bagian dari proses pencabutan pemangkasan sukarela oleh delapan anggota, termasuk Uni Emirat Arab yang mendapatkan kuota produksi lebih besar.
Namun, analis senior Price Futures Group Phil Flynn mengatakan bahwa OPEC+ kemungkinan akan menahan kenaikan produksi pada Oktober jika permintaan minyak telah mencapai puncaknya.
“Ketakutan akan peak oil sebelumnya belum terbukti. Kenaikan harga justru mendorong eksplorasi sumber minyak baru, baik di dalam negeri maupun lepas pantai,” tulis Flynn dalam catatannya.
Di sisi geopolitik, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengadakan pembicaraan terbuka dengan Menlu Rusia Sergei Lavrov terkait stagnasi proses perdamaian di Ukraina.
Trump baru-baru ini menyatakan sedang mempertimbangkan rancangan undang-undang yang akan memberlakukan sanksi lebih keras terhadap Rusia.