Bisnis.com, JAKARTA — Harga minyak mentah diperkirakan bisa melonjak hingga menembus US$90 per barel apabila konflik Iran-Israel berlarut-larut dan berujung pada penutupan Selat Hormuz.
Analis Citigroup Inc. memperkirakan lonjakan harga minyak itu bisa saja terjadi jika Selat Hormuz ditutup yang menyebabkan terhentinya pengiriman minyak, dari Iran maupun produsen OPEC lainnya. Walaupun, skenario itu disebut tidak mungkin terjadi.
"Setiap penutupan selat bisa memicu lonjakan harga yang tajam," tulis Tim Analis Citigroup Inc. yang termasuk Anthony Yuen dan Eric Lee dalam sebuah catatan, dikuktip dari Bloomberg, Jumat (20/6/2025).
Berdasarkan data Bloomberg, saat ini harga minyak Brent berada di level US$76,79 per barel atau sudah mendingin 2,6% setelah sempat diperdagangkan hingga US$77 per barel.
Apabila memang nantinya Selat Hormuz terganggu dan ditutup, Citigroup memperkirakan penutupan itu tidak akan lama karena semua pihak akan berupaya untuk membuka kembali jalur pengiriman penting itu. Dengan demikian, skenario Selat Hormuz ditutup berbulan-bulan sangat tidak mungkin terjadi.
Selat Hormuz merupakan jalur di pintu masuk Teluk Persia. Di jalur itu, sekitar seperlima dari total pasokan minyak dunia melintas setiap hari, termasuk pengiriman dari produsen utama OPEC seperti Arab Saudi dan Irak.
Apabila Selat Hormuz ditutup, gangguan itu bisa menghambat pengiriman sekitar 3 juta barel minyak per hari. Citigroup pun memperkirakan gangguan ekspor minyak Iran kemungkinan berdampak lebih kecil terhadap perkiraan harga dari perkiraan.
Saat ini, pengiriman minyak dari Iran sedang dalam musim penurunan dan kilang minyak di China yang menjadi konsumen utamanya saat ini membeli dalam jumlah sedikit.
Perusahaan kilang minyak di China selaku pembeli terbesar minyak mentah dari Iran saat ini merasa tidak khawatir dengan perkembangan konflik di Timur Tengah. Adapun, China mencatatkan cadangan minyak yang cukup untuk menjadi penyangga sementara.
Berdasarkan data Kayrros yang memonitor pasokan minyak di China, saat ini total inventori minyak di Negeri Panda mencapai rekor 1,18 miliar barel. Co-founder and Chief Analyst Kayrros Antoine Halff mengatakan porsi itu termasuk kepemilikan kilang minyak swasta di kawasan Shandong, yang mencapai 335 juta barel seiring dengan adanya tanki penyimpanan baru dan fasilitas yang baru dibuka.