Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat terdapat 21 perusahaan yang berada dalam antrean atau pipeline aksi penawaran saham perdana ke publik (initial public offering/IPO).
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi mengatakan penghimpunan dana di pasar modal masih dalam tren yang positif dengan nilai penawaran umum mencapai Rp65,56 triliun, termasuk dari IPO.
"Sementara itu, masih terdapat 85 pipeline penawaran umum dengan perkiraan nilai indikatif sebesar Rp74,94 triliun," kata Inarno beberapa waktu lalu.
Khusus IPO, terdapat 21 aksi yang masuk ke dalam pipeline dengan nilai mencapai Rp3,99 triliun.
Seiring dengan pipeline OJK, sejumlah perusahaan memang tengah berancang-ancang melantai di bursa. Emiten Prajogo Pangestu PT Chandra Asri Pacific Tbk. (TPIA), misalnya, tengah menjajal rencana untuk memboyong anak usahanya yakni PT Chandra Daya Investasi (CDI) melantai di Bursa.
Inarno menjelaskan OJK saat ini sedang melakukan proses penelaahan atas 28 perusahaan yang mengajukan pernyataan pendaftaran atas IPO saham, termasuk CDI.
"Chandra Daya Investasi telah menyampaikan pernyataan pendaftaran [IPO], saat ini sedang dalam proses penelaahan," kata Inarno.
Sebagaimana diketahui, mengacu prospektus awal yang diperoleh Bisnis pada awal Mei 2025, CDI akan menawarkan sebanyak 12,48 miliar lembar saham dengan nilai nominal per saham Rp100.
Jumlah nilai penawaran umum perdana saham CDI adalah sebanyak-banyaknya Rp2,37 triliun. Diperkirakan, harga penawaran atau harga IPO dipatok sebesar Rp170 hingga Rp190 per saham.
Terdapat pula rencana IPO dari bank pembangunan daerah (BPD), yakni Bank DKI. Langkah masuk bursa itu didorong oleh Gubernur DKI Pramono Anung untuk meningkatkan kualitas layanan Bank DKI.
Namun, Inarno menjelaskan bahwa sampai saat ini belum ada komunikasi resmi antara manajemen Bank DKI, maupun pengajuan pernyataan pendaftaran untuk IPO saham.
Sebelum mengajukan pernyataan pendaftaran IPO kepada OJK, rencana IPO saham oleh Bank DKI juga wajib tercantum dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) yang telah disampaikan kepada OJK.
PT Bank Muamalat Indonesia Tbk. pun ancang-ancang untuk mencatatkan diri di Bursa. Bank Muamalat memang sudah mendapat pernyataan efektif dari OJK sebagai perusahaan publik. Namun, Bank Muamalat belum tercatat di Bursa, sebab masih terdapat beberapa persyaratan pencatatan di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang belum dapat dipenuhi.
Terdapat pula rumor IPO lainnya yang berembus pada tahun ini. Superbank, bank digital hasil kerja sama antara Grab dan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTK) turut dikabarkan akan IPO.
Mengutip dari Bloomberg, sumber yang mengetahui rencana tersebut mengatakan Superbank sedang mempertimbangkan IPO di BEI dan mengincar penghimpunan dana senilai US$200 juta hingga US$300 juta.
Selain itu, Superbank dikabarkan mengincar valuasi senilai US$1,5 miliar hingga US$2 miliar dalam pencatatan saham perdananya nanti. Adapun, saat ini, rencana IPO Superbank dikabarkan masih dalam tahap awal dan belum menghasilkan keputusan.
PT Medco Energi Internasional Tbk. (MEDC) juga dikabarkan akan membawa anak usahanya PT Medco Power Indonesia untuk melantai di Bursa.
Langkah IPO dirancang Medco Power seiring dengan adanya upaya perusahaan untuk mengerek target penjualan listrik mencapai 4.500 gigawatt per hour (GWh) pada tahun ini, lebih tinggi 9,75% dari torehan sepanjang 2024.
Kabar rencana IPO juga datang dari anak usaha PT Summarecon Agung Tbk. (SMRA) yakni PT Summarecon Investment Property (SMIP). Kabar ini sudah cukup lama berembus tetapi manajemen SMRA tampak masih menimbang-nimbang aksi korporasi itu lantaran kondisi pasar.
SMRA pada September 2024 lalu telah menyetor modal dalam bentuk nontunai (inbreng) ke SMIP senilai Rp8 triliun.
Tantangan IPO
Terlepas dari semarak rencana IPO tahun ini, calon penghuni baru bursa tetap menghadapi tantangan. Inarno menjelaskan kondisi makroekonomi Indonesia saat ini menghadapi tantangan dari faktor eksternal seperti ketegangan perdagangan antara AS dan mitra dagangnya, yang turut menciptakan volatilitas pasar global.
Meskipun, di tengah dinamika tersebut, Indonesia menunjukkan ketahanan ekonomi yang cukup solid. Sentimen eksternal seperti perang dagang juga memang menjadi pertimbangan bagi pelaku pasar, namun hal ini juga justru mendorong investor untuk mencari pasar negara berkembang dengan fundamental kuat dan potensi pertumbuhan besar, salah satunya Indonesia.
"Hal ini membuka peluang bagi perusahaan dalam negeri untuk memanfaatkan momen ini sebagai sarana memperkuat struktur permodalannya melalui IPO saham," kata Inarno.
Associate Director Pilarmas Investindo Maximilianus Nicodemus mengatakan aksi IPO tahun ini menghadapi tantangan, salah satunya pasar saham yang sedang lesu. Alhasil, menurutnya, jumlah perusahaan yang akan IPO pun bisa menyusut.
"Bicara IPO bukan hanya bicara fundamental. Akan tetapi bicara juga momentum," katanya kepada Bisnis pada Selasa (4/3/2025).
Adapun, terkait dengan minat investor untuk perusahaan IPO menurutnya masih tinggi. "Kami yakin pelaku pasar dan investor tetap cari saham-saham baru yang menarik. Jadi potensi pasar terhadap IPO tetap ada," ujar Nicodemus.
Akan tetapi, menurutnya, investor mempertimbangkan kualitas IPO. "Investor tentunya berharap perusahaan-perusahaan yang melantai di Bursa itu bisa dikatakan melantai dengan market share yang besar," tutur Nicodemus.
Head of Retail Research Sinarmas Sekuritas Ike Widiawati mengatakan aksi IPO tahun ini semestinya bisa lebih ramai dibandingkan tahun sebelumnya. Sebab, tahun politik telah usai dan ada dorongan untuk ekspansi pasar.
Ike menilai minat investor terhadap perusahaan IPO tahun ini pun masih tinggi. Investor akan siap menyambut perusahaan-perusahaan yang melantai di Bursa. Saat ini, menurutnya pasar IPO tidak hanya diminati oleh investor institusional, tetapi kian semarak oleh kehadiran investor ritel.
Ike mengatakan investor sudah mulai melek terhadap prospek saham IPO. Meskipun saham emiten IPO cenderung memiliki volatilitas tinggi, tetapi ia tetap menarik bagi pasar.
"Memang menarik, akan tetapi high-risk, high-return. Kalau kita lihat, walaupun memang setelah 8 bulan IPO, itu biasanya harga saham yang baru banget, biasanya turun. Namun, pada saat mereka masuk di harga penawaran pertama kali, kemudian listing dan ada kenaikan per 3 hari itu sudah lumayan. Hal inilah yang menjadi euforia di pelaku pasar," ujar Ike.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.