Bisnis.com, JAKARTA — Harga emas saat ini tengah mengalami tekanan dipengaruhi oleh sejumlah sentimen, termasuk penundaan tarif Presiden AS Donald Trump. Bagaimana kemudian peluang pergerakan emas ke depan?
Melansir Reuters pada Rabu (28/5/2025), harga emas spot turun 1,2% menjadi US$3.302,10 per troy ounce setelah naik hampir 5% pekan lalu. Sementara itu, harga emas berjangka AS terpantau melemah 1,9% pada US$3.300,40 per troy ounce.
Analis dari Dupoin Futures Indonesia, Andy Nugraha mengatakan pelemahan emas saat ini sejalan dengan formasi teknikal yang mulai menunjukkan pembentukan tren bearish jangka pendek. Kombinasi pola candlestick harian dan indikator moving average menunjukkan bahwa tekanan jual mulai mendominasi pasar emas.
"Jika tekanan ini berlanjut, potensi penurunan harga emas hari ini bisa mencapai area support berikutnya di kisaran US$3.277," kata Andy dalam keterangan tertulis pada Rabu (28/5/2025).
Namun, peluang rebound jangka pendek tetap terbuka jika terjadi reaksi balik dari pasar terhadap data fundamental baru atau munculnya kembali kekhawatiran geopolitik dan fiskal.
"Apabila harga gagal menembus level support dan mengalami pantulan teknikal, maka target kenaikan terdekat ada di area US$3.320,” ujar Andy.
Secara fundamental, beberapa faktor turut membebani pergerakan harga emas dunia. Koreksi terjadi di tengah membaiknya sentimen pasar global setelah Trump mengumumkan penundaan tarif 50% terhadap barang-barang dari Uni Eropa hingga 9 Juli 2025.
Keputusan ini disambut positif oleh pasar, memicu peningkatan selera risiko dan mengurangi permintaan terhadap aset safe-haven seperti emas.
Kemudian, terjadi penguatan dolar AS, di mana indeks dolar AS naik lebih dari 0,62% menjadi 99,54. Penguatan ini didorong oleh lonjakan keyakinan konsumen AS yang meningkat tajam menurut laporan dari Conference Board. Kenaikan itu menjadi tertinggi dalam 4 tahun terakhir.
Kondisi-kondisi itu memberikan sentimen positif terhadap aset berbasis dolar AS, namun menjadi tekanan tambahan bagi logam mulia.
Selain itu, investor juga mencermati perkembangan perundingan dagang antara AS dan India. Ada harapan tercapainya kesepakatan yang menambah keyakinan pasar serta memperkuat arus keluar dari aset safe haven.
Meski demikian, emas masih menyimpan potensi upside dalam jangka menengah. Kekhawatiran terhadap defisit fiskal AS dan peringkat utang pemerintah yang diturunkan oleh Moody’s dari AAA menjadi AA1 membuat emas tetap menarik sebagai lindung nilai terhadap ketidakstabilan fiskal.
Hal ini turut ditopang oleh data pesanan barang tahan lama AS yang turun 6,3% secara bulanan, melebihi ekspektasi kontraksi 7,8%, menandakan perlambatan di sektor manufaktur.
Pasar juga masih menantikan serangkaian data ekonomi penting dari AS, termasuk risalah rapat FOMC, estimasi kedua produk domestik bruto (PDB) AS kuartal I/2025, dan indikator inflasi pilihan The Fed yakni indeks harga belanja konsumsi pribadi atau PCE. Hasil dari data-data itu akan menjadi katalis utama dalam menentukan arah harga emas selanjutnya.
Andy menekankan bahwa pergerakan harga emas sangat tergantung pada respons pasar terhadap rilis data tersebut. Jika ada tanda-tanda bahwa inflasi masih belum terkendali, maka emas bisa kembali mendapatkan momentum bullish.
Sementara itu, kepala strategi komoditas TD Securities Bart Melek mengatakan harga emas mengalami volatilitas yang tinggi karena adanya sentimen yang terus berubah-ubah terkait tarif perdagangan.
"Saat ini, pasar mungkin memiliki kesan bahwa ada kesepakatan yang harus dicapai dan itu menekan harga emas," jelasnya.
Dolar AS menguat dan indeks saham berjangka melonjak. Dolar AS yang lebih kuat dan meningkatnya sentimen risiko membebani emas, aset berdenominasi dolar yang biasanya disukai selama periode ketidakpastian ekonomi dan geopolitik.