Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah berencana mengubah skema royalti bagi perusahaan tambang. Rencana perubahan ini dikhawatirkan akan memperberat beban operasional emiten tambang, khususnya batu bara dan nikel.
Head of Marketing, Strategy, and Planning Kiwoom Sekuritas Oktavianus Audi melihat kenaikan tarif royalti komoditas minerba dikhawatirkan mendorong kenaikan beban operasional produsen emiten tambang.
"Khususnya untuk batu bara dan nikel, kenaikan terakhir kali pada tahun 2022 dan jika kembali dinaikkan, maka dapat menekan operasional," kata Audi, Selasa (11/3/2025).
Terlebih sebelumnya, kata Audi, kebijakan aturan DHE yang menempatkan hasil ekspor 100% di dalam negeri minimal 12 bulan dan juga aturan harga batu bara acuan (HBA) sebagai harga ekspor batu bara cenderung meningkatkan beban untuk perusahaan.
Selain itu, kata Audi, perusahaan juga semakin tertekan di tengah koreksinya harga komoditas, baik batu bara maupun nikel.
"Kami memperkirakan stagnansi permintaan dari China dan India, hingga pengalihan energi baru terbarukan mendorong penurunan harga," ujar Audi.
Baca Juga
Dia juga menyebut Bank Dunia memproyeksikan harga batu bara dapat mengalami penurunan 12% di tahun 2025 dan 2026.
Meski demikian, kata Audi, apabila melihat data Mineral One Data Indonesia (MODI) per 12 November 2024, realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor minerba mencapai Rp121,74 triliun atau 107% dari target.
Maka, dengan asumsi kenaikan royalti komoditas minerba ini akan berdampak pada kenaikan PNBP. Asumsi kenaikan tarif royalti dari batu bara akan mengalami kenaikan 9,5% hingga 12,5% dari tarif lama, sedangkan bijih nikel alami kenaikan 40%-90% dari tarif lama.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.