Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BEI Sebut 8 Perusahaan Sedang Matangkan Rights Issue

Pada 2024, BEI mencatat ada 15 aksi rights issue dengan dana terkumpul Rp34,42 triliun.
Ana Noviani, Fahmi Ahmad Burhan
Sabtu, 11 Januari 2025 | 03:08
Direktur Penilaian Perusahaan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) I Gede Nyoman Yetna memberikan paparan saat pembukaan perdagangan di Bursa Efek Indonesia di Jakarta, Rabu (8/1/2025)./JIBI/Bisnis/Abdurachman
Direktur Penilaian Perusahaan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) I Gede Nyoman Yetna memberikan paparan saat pembukaan perdagangan di Bursa Efek Indonesia di Jakarta, Rabu (8/1/2025)./JIBI/Bisnis/Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA — Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat sebanyak delapan perusahaan tercatat masuk ke dalam pipeline rights issue BEI.

Sepanjang tahun berjalan 2025, belum ada realisasi rights issue yang tercatat di BEI. Adapun, pipeline delapan aksi rights issue berasal dari beragam sektor korporasi. 

Terbanyak berasal dari sektor basic material sebanyak tiga perusahaan. Disusul, 2 perusahaan dari sektor energi, 2 perusahaan dari sektor healthcare, dan 1 perusahaan dari sektor infrastruktur.

Pada 2024, Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat ada 15 aksi penambahan modal dengan memberikan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue dengan dana terkumpul Rp34,42 triliun. Realisasi rights issue tersebut mengalami penurunan dibandingkan periode sebelumnya.

Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan dari 15 perusahaan tercatat yang melaksanakan aksi rights issue, paling banyak berasal dari sektor finansial serta infrastruktur.

Kontribusi aksi rights issue dari sektor finansial dan keuangan masing-masing sebesar Rp14,15 triliun serta Rp13,15 triliun. 

"Mengenai penggunaan dana, pada umumnya perusahaan tercatat di sektor finansial melakukan aksi korporasi dengan HMETD sebagai upaya untuk peningkatan modal dan juga untuk memenuhi ketentuan modal inti minimum," ujar Nyoman dalam keterangan tertulis pada Rabu (8/1/2025).

Sementara itu, perusahaan tercatat di sektor infrastruktur pada umumnya memanfaatkan dana hasil aksi rights issue untuk membiayai proyek yang sedang dikerjakan serta memperkuat struktur permodalan. 

Sejumlah emiten sudah menyampaikan rencana untuk menggelar rights issue. Salah satunya, emiten batu bara milik Hary Tanoesoedibjo, PT MNC Energy Investments Tbk. (IATA). 

IATA menyampaikan akan melakukan penawaran umum terbatas (PUT) III ke pemegang saham dalam rangka penerbitan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue. IATA akan menerbitkan sebanyak-banyaknya 20,19 miliar saham dalam rights issue ini.

Berdasarkan prospektusnya, IATA menyampaikan akan menerbitkan sebanyak-banyaknya 20,19 miliar saham seri B dengan nilai nominal Rp50 per saham. Setiap pemegang lima saham memiliki 4 HMETD, dengan setiap 1 HMETD memberikan hak ke pemegangnya untuk membeli satu saham baru seri B dengan nilai nominal Rp50 setiap saham.

"Seluruh dana yang diperoleh dalam PUT III ini setelah dikurangi biaya-biaya emisi akan digunakan untuk modal kerja dan pengembangan usaha perseroan," tulis manajemen IATA dalam prospektusnya, Selasa (7/1/2025).

Selain IATA, emiten properti PT Lippo Cikarang Tbk. (LPCK) membidik dana segar seebanyak-banyaknya Rp1,48 triliun lewat  penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu II (PMHMETD II) atau rights issue.

Adapun, emiten berkode saham LPCK itu akan menerbitkan saham baru sebanyak 2,97 miliar saham lewat rights issue.

Dalam prospektus rights issue, LPCk akan menawarkan sebanyak-banyaknya 2,97 miliar saham biasa atas nama dengan nilai nominal Rp500 per saham.

"Harga pelaksanaan Rp500, yang mewakili sebanyak-banyaknya 52,61% dari modal ditempatkan dan disetor penuh setelah PMHMETD II," tulis manajemen LPCK, dikutip Senin (9/12/2024).

Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Miftahul Khaer menilai aksi korporasi rights issue pada 2024 mengalami penurunan dari sisi jumlah dan nilai dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, kondisi pasar yang volatil akibat ketidakpastian global, seperti suku bunga tinggi dan perlambatan ekonomi yang membuat emiten cenderung menunda atau mengurangi skala rights issue.

Kedua, minat investor terhadap rights issue juga menurun, terutama karena tingginya risiko dilusi saham di tengah kinerja emiten yang belum maksimal.

Ketiga, banyak perusahaan memilih opsi pendanaan lain, seperti pinjaman atau obligasi yang dianggap lebih efektif dalam situasi pasar yang masih kurang kondusif. 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper