Bisnis.com, JAKARTA — Mata uang rupiah dibuka menguat ke posisi Rp15.855 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan hari ini, Jumat (29/11/2024).
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah dibuka pada perdagangan dengan naik 0,10% atau 16,5 poin ke posisi Rp15.855 per dolar AS. Pada saat yang sama, indeks dolar terlihat melemah 0,21% ke posisi 105,919.
Sejumlah mata uang kawasan Asia lainnya bergerak variatif terhadap dolar AS. Yen Jepang menguat 0,94%, yuan China menguat 0,19%, Singapura menguat sebesar 0,24%, won Korea menguat 0,06%, baht Thailand menguat 0,45%, dan ringgit Malaysia menguat 0,24%.
Selain itu, peso Filipina menguat 0,07%, dan dolar Taiwan menguat sebesar 0,03%. Lalu, mata uang yang melemah yakni, rupee India melemah 0,05%, dan dolar Hong Kong stagnan 0,00% per dolar AS.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi telah memprediksi bahwa hari ini (29/11/2024), mata uang rupiah akan bergerak fluktuatif tetapi berpotensi ditutup menguat di rentang Rp15.810-Rp15.890 per dolar AS.
Pada perdagangan kemarin (28/11/2024), mata uang rupiah ditutup menguat 63 poin sebelumnya sempat menguat 80 poin di level Rp15.871,5 per dolar AS dari penutupan sebelumnya di level Rp15,934,5 per dolar AS.
Ibrahim mengatakan bahwa investor menahan diri untuk tidak memasang taruhan besar sebelum libur Thanksgiving AS. Data semalam menunjukkan bahwa indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) ukuran inflasi dasar Federal Reserve meningkat sesuai dengan perkiraan. Indikator itu juga menunjukkan bahwa ekonomi AS berkembang dengan kecepatan yang solid pada kuartal ketiga.
Menurutnya, ketidakmampuan untuk mencapai target inflasi 2% Federal Reserve, dikombinasikan dengan kemungkinan peningkatan tarif impor, dapat membatasi kemampuan bank sentral untuk menurunkan suku bunga tahun depan.
Selain itu, data produk domestik bruto AS juga dinilai menunjukkan pertumbuhan yang stabil pada kuartal III/2024. Ditambah lagi, data klaim pengangguran mingguan yang sedikit lebih kuat dari yang diharapkan.
Meskipun demikian, perkembangan tersebut diperkirakan tidak banyak menghalangi ekspektasi untuk penurunan suku bunga pada Desember 2024. Di sisi lain, para pedagang terlihat semakin tidak yakin atas prospek suku bunga pada 2025.
Selain itu, ketidakpastian atas masa jabatan Presiden Donald Trump menambah hal tersebut karena Trump diperkirakan akan mengeluarkan lebih banyak kebijakan ekspansif dan tarif perdagangan yang akan mendorong inflasi. Tren tersebut diperkirakan akan membatasi siklus pelonggaran The Fed.
Meningkatnya kekhawatiran akan perang dagang China-AS, para pedagang menunggu untuk melihat langkah-langkah stimulus yang akan diberlakukan Beijing untuk mengimbangi tekanan ekonomi dari setiap kenaikan tarif AS. Data indeks manajer pembelian China untuk November akan dirilis pada Sabtu dan akan memberikan lebih banyak petunjuk tentang ekonomi.