Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Komoditas: Emas dan Minyak Melemah Ditekan Sentimen Timur Tengah-China

Minyak mentah dan emas terpantau mengalami penurunan seiring dengan eskalasi konflik di Timur Tengah dan stimulus dari China yang gagal meyakinkan investor.
Emas batangan di stan Advantage Gold di National Harbor, Maryland, Amerika Serikat. Bloomberg/Al Drago
Emas batangan di stan Advantage Gold di National Harbor, Maryland, Amerika Serikat. Bloomberg/Al Drago

Bisnis.com, JAKARTA – Harga komoditas seperti minyak dan emas terpantau mengalami penurunan seiring dengan eskalasi konflik di Timur Tengah dan paket kebijakan stimulus dari China yang gagal membangkitkan kepercayaan investor.

Mengutip Reuters pada Selasa (15/10/2024), harga minyak mentah berjangka jenis Brent terpantau menurun 2% atau US$1,58 pada US$77,46 per barel. Harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS juga menurun 2,29% atau US$1,73 menjadi US$73,83 per barel. 

Harga minyak Brent sempat turun lebih dari 5% menyusul laporan media bahwa Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan kepada AS bahwa Israel bersedia menyerang sasaran militer Iran dan bukan sasaran nuklir atau minyak.

Sementara itu, harga minyak pemanas berjangka AS turun 5% pada akhir perdagangan. Bensin berjangka AS turun lebih dari 4%.

OPEC pada Senin (14/10/2024) waktu setempat memangkas perkiraan pertumbuhan permintaan minyak global pada 2024 dan menurunkan proyeksi untuk 2025, menandai revisi penurunan ketiga berturut-turut yang dilakukan kelompok produsen tersebut.

Sementara itu, China, importir minyak mentah terbesar di dunia, menyumbang sebagian besar penurunan proyeksi 2024 karena OPEC memangkas perkiraan pertumbuhan negara tersebut menjadi 580.000 barel per hari (bpd) dari 650.000 barel per hari.

Impor minyak mentah China untuk sembilan bulan pertama tahun ini turun hampir 3% dari tahun lalu menjadi 10,99 juta barel per hari, data menunjukkan.

Menurunnya permintaan minyak di China yang disebabkan oleh meningkatnya penggunaan kendaraan listrik (EV), serta melambatnya pertumbuhan ekonomi setelah pandemi COVID-19, telah menjadi penghambat konsumsi dan harga minyak global.

Tekanan deflasi China juga memburuk pada September, menurut data resmi yang dirilis pada hari Sabtu. Konferensi pers pada hari yang sama membuat investor menebak-nebak mengenai besaran paket stimulus secara keseluruhan untuk menghidupkan kembali perekonomian negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut.

“Kurangnya jangka waktu yang jelas dan tidak adanya langkah-langkah untuk mengatasi masalah struktural, seperti lemahnya konsumsi dan ketergantungan pada investasi infrastruktur, hanya meningkatkan ambiguitas di antara para pelaku pasar,” kata Mukesh Sahdev, Global Head of Commodity Markets-Oil di Rystad Energy. 

Berita negatif dari China melebihi kekhawatiran pasar atas kemungkinan bahwa tanggapan Israel terhadap serangan rudal Iran pada 1 Oktober dapat mengganggu produksi minyak.

AS mengatakan pada hari Minggu bahwa pihaknya akan mengirim pasukan ke Israel bersama dengan sistem anti-rudal canggih dalam pengerahan yang sangat tidak biasa yang dimaksudkan untuk meningkatkan pertahanan udara negara tersebut.

“Sementara serangan Israel ke Iran kemungkinan besar akan terjadi, tindakan penguatan terbaru yang dilakukan militer AS mungkin telah menenangkan respons kedua belah pihak,” kata Dennis Kissler, Senior Vice President of Trading di BOK Financial.

"Perdagangan yang gelisah akan tetap ada karena sebagian besar fund manager masih menunggu," kata Kissler.

Harga Emas

Sementara itu, harga emas di pasar spot terpantau turun 0,2% menjadi US$2.649,98 per troy ounce setelah mencapai level tertinggi lebih dari seminggu di awal sesi. Adapun, harga emas berjangka AS juga menurun 0,4% pada US$2.665,6 per troy ounce.

Phillip Streible, Chief Market Strategist di Blue Line Futures, mengatakan ada banyak hambatan kecil bagi emas, termasuk stimulus China, dolar yang lebih kuat, euro yang lebih lemah, logam dasar yang lebih lemah, dan aksi profit taking.

Rekor kenaikan harga emas dalam beberapa bulan terakhir telah mengurangi sentimen investor dan permintaan emas batangan di China. Dolar AS yang lebih kuat membuat emas lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya.

Zain Vawda, Market Analyst di MarketPulse by OANDA menyebut, rilis data China bermata dua. Dia menuturkan, data China yang lemah dapat mengurangi permintaan emas, namun perlambatan yang lebih luas di China dapat meresahkan pasar, meningkatkan daya tarik emas sebagai aset safe haven.

“Secara keseluruhan, masih ada lebih banyak faktor yang mendukung kenaikan harga emas dibandingkan faktor-faktor yang menghambatnya,” kata Vawda.

Adapun, investor juga akan memantau komentar pejabat Fed minggu ini untuk mendapatkan petunjuk lebih lanjut mengenai penurunan suku bunga mendatang, bersama dengan data penjualan ritel AS.

Pedagang melihat sekitar 82% peluang The Fed memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan bulan November. Suku bunga yang lebih rendah mengurangi biaya peluang untuk memegang emas batangan.

Namun, ketegangan geopolitik dan pendorong emas global (investor barat) masih aktif berupaya mendukung harga emas, kata ahli strategi pasar Dewan Emas Dunia Joseph Cavatoni.

Pada perkembangan lain, harga perak di pasar spot turun 1,1% menjadi US$31,2 per ounce, sementara platinum naik 0,9% menjadi US$994,03.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper