Bisnis.com, JAKARTA — Mata uang rupiah dibuka menguat ke posisi Rp16.151,5 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan hari ini, Rabu (7/8/2024). Namun, sejumlah mata uang Asia lainnya mencatatkan nasib berbeda.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah membuka perdagangan hari ini dengan menguat 0,08% atau 13 poin ke posisi Rp16.151 per dolar AS. Pada saat yang sama, indeks dolar terpantau menguat 0,23% ke posisi 103,21.
Di tengah penguatan rupiah, nasib mata uang Asia lainnya mengalami pelemahan. Yen Jepang misalnya melemah 1,61%, won Korea melemah 0,57%, dolar Hong Kong melemah 0,02%, rupee India melemah 0,14%.
Lalu, yuan China melemah 0,36% dan dolar Taiwan melemah 0,07%. Baht Thailand pun melemah 0,31%.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan terdapat sejumlah sentimen yang memengaruhi pergerakan pada penutupan sore kemarin.
Dari sisi eksternal, data pekerjaan AS yang lebih lemah dari perkiraan, bersama dengan laporan laba yang mengecewakan dari perusahaan teknologi besar, dan meningkatnya kekhawatiran atas ekonomi China.
Baca Juga
Kondisi tersebut telah memicu aksi jual global pada saham, minyak, dan mata uang berimbal hasil tinggi dalam sepekan terakhir karena investor mencari keamanan uang tunai.
Kemudian, aksi jual berlanjut pada Senin (5/8/2024) dengan imbal hasil treasury AS turun lebih jauh, indeks saham di zona merah, dan dolar melemah.
Imbal hasil Treasury telah turun tajam sejak pekan lalu, ketika The Fed mempertahankan suku bunga kebijakan dalam kisaran 5,25% hingga 5,50%. Lalu, Ketua Fed Jerome Powell membuka kemungkinan penurunan suku bunga pada September 2024.
"Fokus pekan ini adalah pada lebih banyak pembacaan ekonomi dari Tiongkok, khususnya data perdagangan dan inflasi yang akan dirilis akhir pekan ini," katanya dalam keterangan tertulis pada Selasa (6/8/2024).
Dari internal, sentimen muncul saat pemerintah berupaya menggenjot konsumsi pada kuartal III/2024 dan kuartal IV/2024 untuk mendorong pertumbuhan ekonomi akhir tahun. Hal ini mengingat, konsumsi pemerintah pada kuartal/II 2024 yang melambat.
"Pemerintah ingin menggerakan sektor di luar pemerintahan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Ibrahim.